Selasa, 20 November 2012

Semua Anak Cerdas. Semua Ibu??


gambar dari :
khalifatulhaq.blogspot.com



Entah. Aku lupa kapan pertama kali baca teori multiple intelegence alias kecerdasan majemuk. Yang jelas, saat itu aku langsung terpesona. Sebab teori ini membuatku merasa tak  terlalu bodoh walau saat kuliah mesti empat (atau malah lima) kali mengulang matematika. Itu pun berakhir dengan sekedar nilai C kurus. Sudahlah yang penting lulus. Yang penting nggak ada nilai D dalam transkrip nilai akhir.

Jiaaa, sejak dulu aku memang lemah dalam matematika. Kalau masih matematika terapan sih, aku masih bisa. Tapi kalau sudah masuk matematika murni nan teoritis .. alamaaaak. Benciii. Sampai sekarang pun masih mikir, untuk apa aku belajar cos, sinus, tangen? Apalagi dengan pekerjaan sekarang sebagai ibu rumah tangga hihihi…

Tapi bagaimana lagih?

Yang terhormat bapak/ibu pakar pendidikan penyusun kurikulum sudah membuat ketentuan. Waktu itu, aku hanya pelajar/mahasiswa yang kurang kritis, juga nggak suka demo hihihi.

Well… okelah, hidup nggak seperti kaset yang bisa direwind (suka banget kalimat dari artikel mbak Dini Shanti ini). Kalau saat itu aku jadi merasa bodoh gara-gara matematika jeblog, merasa sedih gara-gara olahraga mentok…. ke depan, mudah-mudahan anakku tidak begitu. 

Karena sebagai ibu, aku akan bilang kalau dia itu tetap istimewa meski nilai akademiknya tidak excellent. Karena kalaupun anakku nggak sering rangking satu kayak ibunya dulu (mulai nih, membanggakan masa lalu hihihi), dia tetap pinter di mataku. Justru salah satu tugasku sebagai ibu adalah untuk menelisik, di bidang apa sih anakku pinter? >> catetttt ini ya Lsd! (selftalk)

Ini nih pentingnya ibu-ibu tau teori kecerdasan majemuk.

Jadi pengin nulis ini gara-gara baca artikel di www.theurbanmama.com. Semua anak… cerdas! Penulisnya, pake teori kecerdasan majemuk. Jadi, yang nggak setuju harus setuju. (maksa!). Iyalah, kan dasar tulisannya pake teori kecerdasan majemuk. Kalau yang nggak setuju karena pake dasar teori IQ yang menekankan kecerdasan IPA/matematik… ya bakalan jadi debat kusir macam rapat yang terhormat dewan perwakilan rakyat toh..

Well, semua anak…cerdas. Tapi bagaimana dengan semua ibu?

Yang sudah ibu-ibu, pernah nggak merasa bersalah sama anak?

Karena nggak bisa kasih ASI eksklusif?
Karena nggak bisa sering nemeni mereka gara-gara kerjaan yang hectic?
Karena anak susah makan sehingga badannya kurus (padahal body ayahbundanya gede)?
Karena salah kasih obat?
Karena asik onlen sehingga anak jatuh…(piiih, dampak internet pada parenting hihihi)
Karena sekian hal ….. yang intinya “nggak bisa kasih yang terbaik buat anak/keluarga.”

Ih, aku sering loh. Sampai-sampai pernah terucap sama misua, “bisa nggak ya aku jadi ibu yang baik?”

Ketika chat via whatsapp sama beberapa temen sesama emak-emak, ternyata sama juga. Baca-baca forum parenting, sami mawon. Bahkan, ada seorang temen yang salah satu motivasi punya anak kedua adalah “supaya bisa menebus kekurangan-kekurangan yang terjadi pada anak pertama.”

Mungkin karena naluri menjadi ortu adalah “giving the best” ya…

Baik ibu rumah tangga maupun ibu bekerja, aku rasa punya tekanan senada dalam hal “keinginan untuk memberi yang terbaik.”

Ibu rumah tangga, karena memang merasa profesinya adalah ibu rumah tangga, jadi penginnya perfect dalam ngatur rumah dan anak. Karena menurut pandangan umum, dengan ibu berada di rumah, harusnya rumah dan anak jadi lebih jadi lebih terurus.  Bisa masak, bisa ngajarin anak, bisa antar jemput anak, bisa menata rumah, bisa bla bla bla… supermom lah..

Ibu bekerja kantoran juga pengin jadi supermom. Bisa handle urusan kantor maupun rumah dengan perfect! Istilah formalnya, menyelaraskan karir dengan keluarga.

Ibu bekerja di rumah juga usaha jadi supermom. Bisa manajemen waktu dengan bajussss (saking bagusnya) sehingga dapat duit banyak dari rumah sambil bisa tetap momong anak. (Pweeeeh, ini memang pergumulanku hehehe)
 
Mungkin kasus-kasus di atas nggak nyambung dengan teori kecerdasan majemuk. Tapi intinya adalah, tidak ada manusia yang bisa oke dalam semua hal. Tak ada gading yang tak retak. Seorang ibu mungkin oke dalam memasak, tapi mungkin kurang pandai dalam mengajari anak belajar. Oke dalam bersosial, tapi mungkin harus belajar ekstra dalam mengatur keuangan.

Karena keinginan untuk menjadi sempurna terkadang justru menekan. Romantisme tentang keagungan “peran ibu” justru menjadi beban. Terlebih perempuan unggul dalam rasa daripada logika. Aku mahfum ketika sebuah artikel menyatakan “perempuan lebih mudah depresi daripada laki-laki.”  Perasaan bersalah itu mirip narkoba. Dalam dosis yang tepat, efeknya produktif. Namun jika overdosis, justru kontraproduktif.

Ketika aku merasa mulai overdosis rasa bersalah, aku menegaskan pada diriku, bahwa menjadi ibu adalah proses. Setiap waktu bergumul dengan kekurangan-kekurangan. Tugas kami sepertinya adalah memperbaiki apa yang bisa diperbaiki, dan belajar menerima dengan ikhlas kekurangan yang sudah tetap. 

*Special to BJ, yang membuatku pengin jadi ibu sehingga aku mesti belajar persoalan-persoalan seperti ini. 

-------------------------------------------
 anak-anak punya impian besar
tugas kita adalah membantu mewujudkannya
juga menjadi teladan dalam meraih impian-impian kita
ibu, inikah impianmu? 



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar