Senin, 31 Desember 2012

Hidup dengan Target



gambar pinjam dari SINI


Salah satu alasan klasik untuk menolak bergabung di jaringan bisnis Oriflame adalah “takut/malas dengan target tutup poin”. Hiyaaaa… tadinya kerja enak-enak, business as usual aja dapat gaji kok tiba-tiba kudu penuhin target. Mana hasilnya belum pasti.. males banget lah yaaa…Hidup dengan target, jadi seperti terus bermain kejar-kejaran. Capek, tak ada istirahat.

Dulu, saya juga mikirnya begitu. Tutup poin alias tupo hanyalah trik perusahaan untuk menggenjot penjualan. Tupo juga kadang disalahartikan sebagai eksploitasi upline terhadap downline.  Seorang downline saya bilang : upline tupo, aku tupo, dia dapat bonus, aku dapat apa? Well, sampai sekarang saya masih percaya sih, kalau tupo adalah “trik perusahaan untuk menggenjot penjualan”. Bedanya, sekarang saya tak lagi menempatkan kata “HANYALAH” di depan kalimat tersebut. Bisa dicek hehehe.

Yai, tupo itu wajib nggak wajib kok. Wajib kalau ingin bonus cair. Wajib kalau merasa harus jadi “contoh” bagi jaringan. Tapi, nggak ada SANKSI sama sekali kalau nggak memenuhinya. Ingin mendapatkan hak, ya jalankan kewajiban dong. Fair kan?

Akan halnya sekarang, saya bisa merasakan dampak baiknya tupo. Kalau dalam bisnis Oriflame sih jelas, dengan tupo, bonus saya selalu cair, web replika saya selalu aktif, sering dapat reward-reward khusus di luar bonus (memang belum reward-reward yang “wah” sih..tapi besar atau kecil itu kan relatif).

Tapi manfaat baiknya saya rasakan di menulis. Pernah menjadi penulis warta, ternyata tak menjamin saya produktif sebagai penulis lepas.  Rentang 2009 (mulai resign) – 2012 menjadi bukti betapa saya nggak produktif. Saya bilang, saya terbelit writer’s block (dan ini beneran, saya pernah sampai merasa “lumpuh”..situasi yang membuat saya memutuskan untuk buka toko online yang kini off). Seorang teman saya bilang, saya nggak produktif karena saya nggak menentukan target menulis, terutama target waktu. Target menulis sangat penting bagi seorang freelancer.

Saya renungkan, itu pendapat yang JLEB! Tepat sasaran. Nah lho, ternyata, nggak cuma di bisnis marketing saja, target itu juga diperlukan di banyak pekerjaan/urusan hidup lainnya. Tanpa target, kita jadi mengawang-awang. Dalam bisnis, saya rasakan perbedaan antara tanpa target (ketika bikin toko online) dengan ada target (di Oriflame). Ternyata memang jadi terasa beda dalam menjalankannya.  Saat bekerja formal pun, sebetulnya selalu ada target. Cuma, kalau di kerja formal, dalam mencapai target kita terbantu oleh sistem : ada hari dan jam kerja yang jelas (dibilang nggak jelas itu kalau harus lembur gila-gilaan :P), ada gaji rutin, ada bonus rutin, ada bos yang bakalan marah kalo kita ga sesuai target, ada temen kerja yang empet kalau kita kerja asal-asalan dan pekerjaan kita secara langsung ngaruh ke dia, dan sebagainya.

Sementara, di kerja mandiri, tak ada sistem yang memaksa. Tak ada hari dan kerja yang ditetapkan (terserah elo, mau kerja apa nggak, itu kerjaan elo), tak ada gaji rutin maupun bonus rutin (tapi kalau kerjanya heboh, kenaikan gaji dan bonusnya juga “nggak rutin”, tapi juga hebooooh), nggak ada bos maupun temen yang marah kalau kita kerja asal-asalan atau bahkan nggak kerja. Semuanya tergantung pada kita sendiri dan justru inilah tantangannya. Tantangan yang ternyata butuh waktu cukup lama bagi saya untuk menyiasatinya.

Bekerja tanpa sistem yang memaksa, butuh tujuan jangka panjang (impian). Tanpa itu, kita seolah berjalan tanpa tujuan yang jelas. Target menolong kita mencapai tujuan tersebut. Ada target jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang. Target harian, mingguan, bulanan, tahunan.  Yak, selama ini, walau sudah dikasih tahu oleh berbagai sumber, tetap saja saya tak pernah tegas dan jelas menetapkan target-target saya, dan lalu konsisten mengusahakannya. Kalau hasilnya jadi nggak jelas, salah sendiri.

Wiw, sebenarnya ini bukan “pelajaran baru” kan. Ini jelas-jelas pelajaran dari masa yang sudah sangat lama. Bagi orang yang terbiasa disiplin, mungkin mudah menerapkannya. Tapi bagi saya yang terbiasa “mengalir” dan “berdamai kalau tak mencapai keinginan” (yang kadang sebenarnya adalah kamuflase dari daya kompetisi yang rendah), target adalah tantangan besar.

Saya bersyukur bergabung dengan Oriflame. Di sini, saya dipaksa banyak belajar tentang target dan bagaimana mencapainya.

Sabtu, 29 Desember 2012

Buku di Tempat Kaum Nomad




Petang Sabtu (29/12) ini, ada insiden kecil di Rumah Halilintar (eh, tiba-tiba saja tercetus ide memakai nama ini untuk menyebut “rumah-kontrakan-kami-di-Siantar-ini”).  BJ terlalu keras ketika menutup kunci mobil sehingga semua pintu terkunci otomatis. Celakanya, kunci masih tergantung di starter! Jadilah, petang sampai malam ini BJ ribet mencari solusi. Salah satunya adalah membongkar-bongkar lemari/rak untuk mencari kunci cadangan. Nihil di sana, giliran tumpukan dus jadi sasaran pembongkaran. Kalau sudah begini, mau tak mau, saya juga ikut ribet toh. (Kalau nggak ikut ribet ya gimana, mau nggak  mau, sebagai “penumpang”, saya bakalan kena juga efek mobil terkunci itu :D).

Berhubung sudah kecapekan bongkar-bongkar, BJ mengembalikan posisi dus dengan sekedarnya. Akhirnya, saya lah yang harus merapikan. Giliran sebuah dus yang agak berat saya angkat, tiba-tiba alasnya jebol. Isinya mbrojol. Aiih… kalau buku-buku itu kena kepala, sangat mungkin bikin benjol.
Sesaat ada rasa gemas. Deuuh, tambahan pekerjaan yang mau nggak mau harus saya kerjakan. DI TENGAH MALAM!

Untuk sementara saya  biarkan buku-buku itu bertebaran di lantai. Sampai kemudian saya memungutinya, membuka-buka beberapa judul yang menarik, kemudian menumpuknya. Kebanyakan novel, tapi ada juga tema-tema lainnya.  

Splendid of Thousand Sun(Khaled Hosseini), novel dengan latar Afganistan di masa Taliban. Novel yang membuat saya bersyukur sebagai “perempuan Indonesia”

Rumah Bambu  (Romo Mangun), cerpen-cerpen  dengan gaya bahasa Romo Mangun yang  “khas” dan sering kocak. Saya suka almarhum Romo Mangun, pastor yang banyak “mengajar” saya tentang hidup dalam keanekaragaman. Bagaimana tetap menjadi seorang Kristiani yang santun di Indonesia yang multikultur dan multi agama.

Saman (Ayu Utami), salah satu novel favorit di masa-masa “banyak mikir”. 

Para Priyayi (Umar Kayam), kalau saja hidup di masa kerajaan, secara keturunan saya sudah pasti seorang jelata. Novel ini memberi perspektif tentang alam pikir para priyayi Jawa.

Dunia Sophie (Joostein Gaarder), yak..bertualang dengan Sophie.. banyak nggak ngerti, tapi asik.
Lipstik dalam Tas Doni (Ratna Indraswari Ibrahim), cerita Bu Ratna..cerita-cerita yang “perempuan bangeet.” 

Cara Menyampaikan Cerita Alkitab dengan Menarik, aku beli ketika masih ikut membantu Sekolah Minggu GKI Berastagi. 

Desain Rumah di Lahan 60-100 m2, , ini sebagai suatu “langkah iman”, di mana suatu saat kami akan mengakhiri status nomaden dengan membangun rumah sendiri.

Mendongeng Bersama Kak Agus, dulu ini salah satu buku persiapan untuk “being mom”, tapi ternyata sekarang ALE lebih duka didongengi YOUTUBe :D.

………………….dan masih beberapa buku lain.

Pada masanya, beberapa dari buku itu saya baca berulang-ulang. Ini memang salah satu kebiasaan saya, buku yang menarik bisa saya baca berulangkali. Maka tak aneh,  bila saya merasa bertemu “teman-teman lama”. Dan dengan sekilas membuka-buka halaman demi halaman, saya merasa mereka menyapa dengan “sedikit cerita”. Lazimnya ketemu teman lama yang baik, ada gembira yang mengalir. Ada energi yang memercik.

Yiaaa… mungkin ini salah satu sebab kejumudan saya dalam menulis. Dulu saya sering terpacu tiap melihat deretan buku di rak. Walau belum banyak buku, belum berderet-deret, hanya satu lemari kecil, tapi itu sudah cukup meletupkan semangat. Salah satu impian saya memang punya rak-rak buku di ruangan khusus, ruang kerja saya. Bukan di ruang tamu, karena saya tak ingin mengesankan “sok intelek”, sementara saya sendiri masih cetek hehehe.

Persoalannya : 

Kami masih termasuk kaum nomaden. Hehehe, memang ini peminjaman istilah yang lebay.  Intinya, kami masih “kontraktor”, belum tinggal di rumah sendiri untuk menetap. Sebagai “kaum nomaden”, kami terpaksa menunda banyak rencana pembelian perabot. Sayang uangnya. Karena kalau nanti pindah kota yang jauuuh (apalagi pindah pulau), perabot adalah barang yang paling potensial tidak bisa dibawa. Rak buku, jelas nggak masuk prioritas. Jangankan rak buku, untuk tidur saja, kami pilih langsung menghamparkan kasur di lantai. Beruntung Siantar daerah berhawa sedang – panas, sehingga kasur di lantai bukan masalah. Mungkin agak kurang sehat ya.. tapi untuk menyiasati, saya sering mengangin-anginkan kasur biar tak lembab.

Rumah kami  jadi “miskin perabot”.  Gara-gara itu, rumah juga terlihat berantakan. Hanya ada dua kamar dan tak ada ruangan gudang. Sehingga kami menggunakan sudut ruang tengah untuk menaruk tumpukan dus-dus. Ketika hendak membeli buffet pendek untuk mengganti rak tivi yang kecil beberapa waktu lalu, butuh waktu cukup lama untuk memutuskan. Terakhir, kami beli sofa untuk ditempatkan di ruang tamu yang tadinya hanya kami taruh karpet. Itu pun gara-gara ada teman yang pindah kerja dari Medan ke Jawa sehingga menggelar super sale untuk perabot-perabotnya.

Ihi, saya nggak sendirian. Berbagi cerita dengan para “nomaden”, rata-rata juga memilih untuk meminimalisasi perabot sebelum bisa menetap. Sekarang buku-buku itu masih numpuk di meja. Rasanya, sayang mau kembali memasukkan ke dalam dus. Tapi saya belum nemu alternatif, mau saya tempatkan di mana :)





Senin, 24 Desember 2012

Natal yang Sempurna



gambar pinjam dari SINI


Minggu (23/12) siang sehabis makan, aku "ketemu" film Snowglobe di Fox Family Movie. Nggak dari awal sih nontonnya, tapi dapeeeet pesan moralnya.

Inti ceritanya tentang seorang gadis penjaga toko kue bernama Rachel yang lagi eneg dengan kesehariannya. Ibu yang kurang memahami, saudara yang kompak, juga ada Eddie -cowok tetangga yang naksir tapi buat Rachel justru terasa nyebelin, etc… Itu terjadi di bulan Desember. Bulan di mana Rachel memimpikan sebuah Natal yang menyenangkan.

Aku enggak tahu, kapan dan di mana Rachel mendapatkan snowglobe, bola kristal beirisi miniatur “desa Natal” (karena seperti kutulis tadi, aku nggak dari awal nontonnya).  Ternyata itu bukan sembarang bola kristal. Bola itu ditaruh Rachel di meja kecil sebelah tempat tidurnya. Saat Rachel tidur, bola mungil  itu seolah membawanya masuk ke dalam.  Tiba-tiba Rachel berada dalam “desa Natal” itu. Desa kecil dengan salju yang lembut, pohon-pohon cemara yang manis, orang-orang yang ramah,  dan di setiap sudut terasa sekali aroma Natal. Inilah suasana Natal sempurna yang diimpikan Rachel.

Rachel merasakannya sebagai mimpi. Ketika terbangun, dia kecewa karena harus kembali ke kehidupannya yang tidak menyenangkan. Pada pengalaman pertama, Rachel benar-benar hanya menganggapnya sebagai mimpi. Namun, ketika Rachel kembali tidur, mimpi itu ternyata berlanjut. Di desa Natal, Rachel berteman dengan seorang pemuda bernama Douglas. Pemuda yang sempurna di mata Rachel. Douglas memberinya sebuah kado Natal berisi kaus tangan berwarna merah. Ketika Rachel bangun, kaus tangan itu benar-benar ada di tangannya!

Rachel terkejut. 

Sejak saat itu, Rachel sering “menghilang”, tak ada ketika dicari ibu-nya, terlambat kerja… Rachel sering tidur  agar bisa berkunjung ke desa Natal. Di desa tersebut, Rachel semakin dekat dengan Douglas dan membuat seorang gadis bernama Marry cemburu. Suatu saat, sehabis bermain ski bersama Douglas, Rachel melihat jam tangan dan dia terkejut karena sudah waktunya makan malam bersama keluarga. Rachel pun pamit kepada Douglas, menyuruhnya menunggu  karena dia akan bilang pada keluarganya untuk tidak makan malam bersama.

Namun, sesuatu membuat Rachel tidak bisa menghindar dari makan malam keluarga, dimana saat itu, Eddie juga datang. Tak disangka, Douglas muncul dari dalam kamar Rachel dan membuat  semua orang di rumah itu terkejut. Alih-alih menjelaskan keanehan yang terjadi, Rachel justru tak mau ambil pusing dan memilih mengajak Douglas berjalan-jalan di Kota New York. Keanehan pun terjadi karena ternyata Douglas benar-benar terlihat “berasal dari dunia lain”, dunia sesempit bola Kristal. Douglas takut pada eskalator, menyapa semua orang, kagum atau takut pada benda-benda keseharian yang baginya tampak asing. Namun, Rachel masih berusaha memahaminya sebagai “kekagetan” sementara.

Paginya, Rachel yang harus bekerja tidak berani meninggalkan Douglas di apartemen. Meski segan setengah mati, Rachel “menitipkan” Douglas pada Eddie. Rachel mulai kesal karena ternyata situasi tak seindah yang dia bayangkan.

Keributan terjadi ketika keluarga Rachel kembali berkumpul (juga ada Eddie di situ), seorang gadis tiba-tiba muncul dari kamar Rachel. Gadis itu Marry.. Dia marah pada Rachel yang dianggapnya telah merebut Douglas.

Seperti mendapat jawaban dari masalahnya, Rachel menjelaskan bahwa Douglas dan Marry berasal dari desa Natal dalam bola kristal. Keluarganya tak percaya. Untuk membuktikan, Rachel mengambil bola kristal untuk mengirim Douglas dan Marry kembali. Namun,  justru Rachel yang masuk ke dalam bola kristal sedangkan Douglas dan Marry tetap di dunia nyata. Celakanya lagi, ketika Rachel masuk, bola kristalnya jatuh dan tuas pemutarnya rusak. Rachel terperangkap di dalam.

Di dalam bola kristal, Rachel berusaha mencari jalan keluar namun tak bisa. Rachel marah-marah kepada semua orang yang dijumpainya. Termasuk kepada Joy, seorang perempuan paruh baya yang pintar masak kalkun panggang. Rachel menganggap bahwa kedamaian dan keceriaan Natal di desa itu adalah palsu.

Pesan moralnya di sini nih, ketika Rachel yang putus asa “ndeprok” di salju (mudah2an suatu saat aku juga bisa ndeprok di salju seperti itu :D). Joy menghampiri Rachel dan berkata bahwa mungkin Natal mereka tak sempurna. Natal di mana orang-orang hanya bertukar kado kaus tangan dan penutup telinga (Ya, hanya dua benda itu!). Tapi itulah Natal mereka. Natal yang mereka terima dengan sukacita.

Rachel pun teringat keluarganya. Natal keluarganya, Natal yang jauh dari situasi Natal impiannya. Ibu yang terasa mengekang, saudara yang ingin menang sendiri, ayah yang kurang memahami… Tapi itulah Natal-nya. Rachel tiba-tiba merindukan mereka.

Tiba-tiba ada seorang kurir datang (yang pasti bukan kurir Tiki atau JNE :P) membawa paket untuk Rachel.  Ternyata isinya sebuah bola kristal dengan miniature apartemen sederhana di dalamnya. Mirip situasi apartemen Rachel. Joy tersenyum, Rachel paham. Dia menutup mata dan sekejap sudah kembali berada di apartemennya. Singkat cerita, atas bantuan Eddie yang mereparasi bola Kristal, Douglas dan Marry bisa kembali ke dalam desa Natal.

Ending yang happy.

Penonton (aku) juga happy. Soalnya, jadi seperti diingetin, kadang merasa “acara Natal begitu-begitu saja” (tapi juga nggak kasih ide konsep natal yang berbeda). Atau juga merasa kecewa karena penginnya sih bisa ngumpul seluruh keluarga, terus makan malam bersama dengan obrolan yang hangat, lalu doa bersama.. Bagi sebagian orang, mungkin sudah jenuh dengan ritual semacam itu. Tapi aku belum pernah, dan aku membayangkannya sebagai natal yang sempurna.

Aku jadi merasa seperti Rachel yang kadang terjebak dalam kedangkalan, mendambakan Natal yang sempurna. Padahal, sebetulnya, kita sudah diberi “natal yang sempurna”. Terlebih, secara duniawi, peristiwa Natal sendiri sudah tak sempurna. Yesus lahir sebagai manusia (dan tak ada manusia yang sempurna kan?). Yesus lahir di kandang domba (kandaaaang, buka kamar), Yesus lahir ditemani orang-orang bersahaja (kecuali orang Majus), Yesus lahir membawa kegemparan (bayi-bayi dibunuh atas perintah Herodes).

Tak pernah ada Natal yang sempurna, kecuali kita memandangnya “sempurna”. Mudah-mudahan setiap kita bisa memiliki mata yang mampu melihat “kesempurnaan Natal.”

Selamat Natal untuk semua pembaca yang merayakannya. Tuhan Yesus memberkati!

Minggu, 16 Desember 2012

Balada Ibu-ibu Blogger


gambar pinjem dari SINI

Saya saluuut sama ibu-ibu rempong yang bisa konsisten ngeblog.

Lha dari dulu ngeblog, musuhnya inkonsistensi.

Dulu memang ada masanya bingung, ngeblog mau nulis apa?

Ada masanya mengira, ibu-ibu kantoran lebih leluasa ngeblog

daripada ibu rumah tangga

Di kantor, apalagi jika kerjaannya fleksibel,

Bisa ambil waktu untuk update tulisan

Ibu rumah tangga, pekerjaannya tak ada jam-nya

baru buka laptop, anak sudah minta ini itu

Eh, tapi banyaaak tuh, ibu-ibu rempong yang bisa ngeblog dengan konsisten

 

Ada juga masanya, banyak ide tapi nggak bisa menuliskannya

Nggak pede.... (padahal mantan penulis berita)

Masa itu, terserang writer's block amat parah

Sekarang, banyak ide, juga sudah kembali pede (bagaimanapun tulisannya, post ajaaah)

Tapi jadi kembali ke masalah klasik,

Belum pandai manajemen waktu.

Antara rempong ngurus anak, kerjaan domestik, kerjaan online..


Tapi manajemen waktu juga butuh jam terbang (kayaknya)

Sekarang belum  pinter..

Kalau terus berusaha, sembari belajar dari ibu-ibu hebat,,

AKU PASTI BISA!!!



------------------------------------------------------
 


Selasa, 11 Desember 2012

Gagal (Ngajarin) Gosok Gigi



gambar dari SINI



Kegagalan memang tidak menyenangkan. Tapi, sebagai ibu, saya sudah jelas-jelas gagal lulus mata kuliah “mengajar gosok gigi”. Anak saya, Ale (2,5 tahun) nggak suka gosok gigi. Nyaris 100 persen enggak suka, enggak mau. Diajak, dibujuk, diminta, dikasih contoh, diajak sikat gigi bareng, sampai…. dipaksa… tetap enggak mau! Sudah bagus kalau dia mau pegang sikat giginya lalu masuk-masukin ke mulut. Walau itu jelas nggak maksimal.

Padahal, saya  mengenalkan gosok gigi pada Ale sejak  giginya mulai terlihat tumbuh sebagai garis putih di gusi. Gigi pertamanya adalah satu gigi seri bagian tengah atas. Sesuai saran ibu-ibu yang lebih senior maupun  berbagai referensi,  gigi dan gusi mungilnya saya lap menggunakan kain lembut. Eh belakangan baru baca referensi yang menyarankan pengenalan gosok gigi bahkan sebelum gigi tumbuh. Istilah lebih tepatnya tentu “lap gusi” yaa hehehe. Tujuannya agar bayi terbiasa sehingga nantinya lebih mudah diajak gosok gigi.

Entah karena terhitung terlambat (jika dibandingkan dengan referensi yang telat saya baca), atau karena  sebab lainnya. Di awal-awal masa pengenalan itu, menggosok gigi/gusi Ale masih urusan mudah. Toh dia masih bayiiii, masih belum bisa keras berontak. Namun, itu tak berlangsung lama. Semakin banyak giginya, bukan semakin semangat gosok gigi. Sebaliknya justru menolak gosok gigi.

Uhuhuhuhu, syediiih…

Mulai deh emaknya intens berburu aneka referensi "merawat gigi si kecil" :

  •  Sediakan aneka sikat gigi yang menarik. Oo okay, beli beberapa macam sikat gigi, mulai sikat gigi telunjuk yang lembut (tapi harganya nggak lembut kekekek), sampai sikat gigi biasa tapi berwarna-warni atau ada gambar ikon tertentu. Ih, nggak berhasil… kalau dibelikan sikat gigi yang ada mainannya, Ale tertarik pada mainannya saja. Pernah suatu waktu ke toko swalayan dan saya ajak ke rak sikat gigi, saya minta pilih sendiri.  Dia ambil sikat gigi dengan mainan bola. Saya bilang, “kita beli, tapi nanti Ale gosok gigi ya…”. Hasilnya : Ale pilih batal beli sikat gigi :D 
  •  Ajak sikat gigi bersama. Siaaaap! Ini kan harusnya nggak susah. Saya sikat gigi trus ajak juga dia gosok gigi. Saya pegang sikat saya, kasih odol. Lalu saya kasih sikat dia, kasih pasta dia. C’mooon, gosgi bareeeeng yuk, Naaak. Hasilnya : Ale Cuma emut-emut sikatnya. Itu mending, beberapa kali dia pake sikat giginya untuk menggosok ember mandi, bahkan dinding kamar mandi. Bahkan berkali-kali diajak gosok gigi bareng, tak hanya dengan saya, tapi bertiga dengan ayahnya. Tetap nggak mau. 
  •  Saling menggosok gigi. Saya pegang sikat giginya, saya kasih dia sikat gigi saya. Mulut saya menganga, memberi contoh agar dia juga membuka mulutnya. Hasilnya : dia suka bangeeeet gosok-gosok gigi saya. Tapiii, menolak untuk saya gosok giginya. Huhuhuhu, nggak fair :D 
  •  Membujuk gosok gigi dengan aneka cara. Membujuk dengan menyanyi. Membujuk dengan berbagai gerakan (misalnya mengumpamakan sikat gigi sebagai pesawat terbang yang meliuk-liuk lalu ingin mendarat di mulutnya). Membujuk dengan sikat gigi di depan cermin. Hasilnya : tetap nihil. 
  •  Sampai suatu hari saya pulang kampung dan oleh Oom saya disarankan agar “sedikit dipaksa”. Duuuuh, sebenernya dari lama sudah menghindari “main paksa”, tapi melihat ketidakberhasilan selama ini, plus lihat gigi anak-anak Oom yang bagus-bagus, saran itu jadi terasa masuk akal. Pertama, oom saya yang mengajari cara “memaksa”. Oom jongkok, lalu Ale dipeluk kuat, lalu mulailah dipaksa gosok gigi. Hasilnya jelas menangis. Tapi justru saat buka mulut karena menangis itulah sikat gigi dimasukkan.   Di hati kecil, saya nggak suka cara ini. Selain memaksa juga rawan gusi kena sodok saat dia meronta. Tapi sempat saya jalankan juga gara-gara saking merasa susah kehabisan akal *weew, contoh  yang nggak baik deh.  Tapi juga nggak bisa berlangsung lama. Sebab, Ale juga makin tahu cara  m mengelak. Kalau semula dia menangis dengan membuka mulut lebar-lebar, sekarang dia menangis sambil menutup mulut dengan tangan. Cara ini saya tinggalkan.

Tapi… mesti bagaimana lagi ya? Rasanya gosok gigi jadi lebih sebagai test kesabaran daripada sekedar urusan kebersihan.  Apalagi sekarang Ale sudah mulai kenal permen dan cokelat.  Suka permen dan cokelat plus ogah gosok gigi. Sudah deeeh, kombinasi yang tepat untuk menghancurkan gigi susunya.

Di umur 2,5 tahun ini, gigi seri atas Ale sudah nyaris habis. Permukaan gerahamnya juga sudah dihiasi plak-plak. Ihiksss…emaknya sedih. Tapi Ale  sih pede-pede aja ketawa-ketiwi meringis. Sejauh ini saya masih tetap berusaha mengajaknya gosok gigi, walau belum ada kemajuan berarti.
Ale dengan gigi geripisnya

Kalau  dewasa nanti  gigi Ale enggak rapi sih, saya enggak terlalu mempersoalkan. Lha wong, gigi saya dan misua juga nggak rapi. Yang saya khawatirkan adalah “sakit gigi.” Takutnya pas belum ganti gigi nanti, dia sering sakit gigi. Saya sudah lihat beberapa anak tetangga yang sakit gigi. Bisa sampai absen sekolah lho..

Ada yang inget lagu dangdut legendaris : lebih baik sakit gigi, daripada sakit hati.

Boleh saja sih Meggy Z nyanyi begitu. Tapi, coba yang lagi sakit gigi, mungkin akan bilang “lebih baik sakit hati, daripada sakit gigi.” Karena sakit gigi itu sangat menyiksaaaaaa.

Aiiiih, Ale apa harus sakit gigi dulu supaya mau gosok gigi?

Selasa, 04 Desember 2012

Kangen Gaji



Dari kondisi punya gaji bulanan yang oke terus tiba-tiba enggak punya gaji sama sekali. Terjun bebas. Kondisi kontras. 

Yak, itu yang saya alami setelah memutuskan resign. Long distance marriage (LDM) dengan peluang akan selalu/sering LDM jika saya atau suami (BJ) bertahan di pekerjaan masing-masing membuat saya memutuskan out. Banyak sih pasangan yang LDM bahkan sampai punya anak dan bisa bertahan, dan baik-baik saja. Tapi saya nggak ingin pola keluarga seperti itu. Saat resign, saya belum punya anak. Tapi saya berpikir, seandainya punya anak, saya nggak ingin dia jarang ketemu bapaknya. (Dan kalau saya tetap dengan kerjaan yang dulu, alamat anak nggak cuma jarang ketemu bapaknya, tapi juga emaknya kekeke)

Pilihannya memang cukup berat. BJ atau saya yang resign. Wewww, ini kerjaan impian saya jeuuu. Tapi baiklah, atas dasar pertimbangan psikososial, akhirnya saya memutuskan resign. Saya yang MEMUTUSKAN. Bukan  BJ yang nyuruh. Malah BJ sempat  meminta saya berpikir panjang tentang keputusan ini. Takut kalau saya stress kali.. biasa bebas keluyuran kemana-mana terus tiba-tiba di rumah aja gitu lhooo...

Apalagi BJ juga tahu, jadi ibu rumah tangga bukan profesi impian saya. Tapi it’s ok, saya ambil tantangan jadi ibu rumah tangga.  Masa sih nggak bisa... bisa menjalani beberapa tantangan maskulin, masa menjalani tantangan yang feminin gak bisa.. TERLALU, pinjem istilah Bang Rhoma yang lagi pengin nyapres.

Dan ini memang profesi yang menantang. Salah satunya tantangannya yang saya sebut di judul tulisan. KANGEN GAJI. 

Ihiiiir, jujur kacang ijo! Dibilang matre ya saya terima (sudah sering dibilang begitu sama BJ kekekekek).
Bukan karena saya nggak dikasih gaji sama BJ. BJ tanggung jawab kok. Bahkan ketika dulu saya masih gajian, BJ tetap transfer gaji-nya ke saya (yang mana waktu itu masih gedean gaji saya -iih ini harusnya rahasia rumah tangga ya hihihihi).

Bukan karena saya merasa kurang dengan gaji BJ. Kalau menuruti keinginan sih, maunya gaji yang gedeeee, lebih gede dari Gaban. Tapi,  kami berusaha untuk mempraktikkan kata Alkitab : bersyukurlah senantiasa. Toh, lihat dari pengalaman hidup orangtua kami, dengan penghasilan rutin yang jauh dari kami sekarang, toh bisa juga menghidupi keluarga. So, cukup itu bukan dari jumlah, tapi dari (usaha) bersyukur.

Dalam situasi ini, kalau memakai hierarki Maslow, saya kangen gaji bukan karena kebutuhan fisiologis atau rasa aman (toh sudah dipenuhi suami). Tapi lebih ke kebutuhan “aktualisasi diri”. Adanya gaji bukan untuk beli makan, tapi beli rumah hahaha (sekarang kan masih kontraktor niih). Gaji untuk perasaan eksis, perasaan berdaya, perasaan “ini lho aku juga bisa.”
gambar dari SINI

Punya gaji sendiri (dan jumlahnya pun lebih dari cukup) ibaratnya memiliki kemerdekaan finansial. Dan akibat resign (tanpa memiliki pekerjaan pengganti lebih dulu), kemerdekaan tersebut langsung terenggut. 

Fiuuuh… bahasanya itu lloh..kemerdekaan langsung terenggut (dijajah kaleeee xixixi).

Mungkin, ini salah satu hal yang bikin ibu-ibu bekerja takut resign, meski  ada kondisi memanggil dia untuk “kembali ke rumah.” (Eh saya nggak anti working-mom yaaaa…. Cateeet hehhehe). Tapi saya percaya dan relatif membuktikan kalau cukup akarnya bukan jumlah, melainkan dari rasa syukur dan usaha untuk menyesuaikan gaya hidup dengan penghasilan.  Pernah dengar, gaji sedikit kurang, eh gaji banyak nggak nyisa. Itu saya rasakan. Dulu pas masih single, bisa nabung, tapi enggak jelas bentuknya (dulu buta investasi booo’). Setelah merid, dua gaji, bisa nabung lebih tapi nggak berarti terus kaya raya. Setelah resign, satu gaji, masih bisa nabung juga dan malah jelas bentuknya. Ini kali yang namanya berkah pernikahan yaaa… manajemen keuangan jadi lebih tertata walaupun itu juga butuh proses.

Back to kangen gajii..

Bersyukurrrr sekaleee kangen gaji bukan karena desakan kebutuhan. Ya dong, ngebayangin yang tiba-tiba putus gaji karena PHK, padahal masih punya tanggungan (keluarga/kredit dan lain-lain yang butuh uang rutin). Apa nggak stresss banget tuh tiba-tiba stop gaji? Apalagi kalau uang pesangon tak memadai dan belum ada kerjaan pengganti.

Tapi ini masalah aktualisasi diri. Juga tanggung jawab sosial. Dulu nih, suka merasa berdosa kalau “pengin kaya”. Tapiii, belakangan konsep saya dibalikkan. Hidup cukup itu baik, tapi hidup berlimpah itu lebih baik. Kualitas hidup jadi lebih baik, juga jadi lebih leluasa tuh bantu-bantu orang.  Saya bantu orang paling bisa puluhan/ratusan ribu. Kalo Bill Gates ? Bisa miliaran dong.

Katanya hidup itu harus BBM : Berkat, Berlimpah, Manfaat!

Kangen gaji nggak bikin saya menyesal resign (kalaupun ada  situasi-situasi di mana saya  kangen kerjaan dulu, bukan berarti saya pengin kembali). Saya sudah niat bulat, mau kerja di rumah, being WaHM, work at home mom.

Kangen gaji bikin saya kreatif. Karena sudah nggak pengin kerja karyawan, jadi harus ngerjain kerjaan yang fleksibel dalam hal waktu, tempat, daaaaan…modal.

Puji Tuhan sudah KLIK dengan KERJAAN INI. Iya, saat nulis note ini, gajinya memang belum segede dulu. Tapi potensinya bisa kok sampai segede dulu, bahkan lebiiiih. Semua butuh proses kan..

Dan saya menyukai proses saya hingga sejauh ini. Sekarang juga nggak lagi nunggu gaji atau sekedar kangen gaji.. 

gambar pinjem dari sini

Sekarang musimnya "mengusahakan gaji"... kekekekke.
Semangaaat!!!