Selasa, 27 November 2012

Gengsi Segede Gaban




Ungkapan “segede Gaban”, pasti tak asing lagi ya… Saya sering menggunakannya untuk mengibaratkan sesuatu yang besaaaar.  Biasanya,  lawan bicara sudah ngerti maksudnya kalau saya pake istilah ini. Tapiii (ihihihi), sejujurnya saya apa/siapa sih Gaban kok dipake untuk perumpaan ukuran yang besaaar? Baru penasaran gara-gara mau bikin tulisan ini. Bersyukur ada google yaaaa… Jadi tahu tentang Gaban dari tulisan INI (terima kasih untuk empunya blog).

Pengin nulis ini gara-gara tulisan mbak Yulia Riani, kompor meledug yang nggak saya kenal langsung, belum pernah saya temui, tapi api semangatnya mampu bikin saya anget, bahkan panas hihihi.

Gengsinya saya mah, lebih parah dari gengsi Mbak Yulia. 

Saya gengsi jualan.  Banyak ibu-ibu sukses berjualan. Emak saya bisa berkontribusi besar dalam ekonomi rumah tangga karena usaha jualan. Setelah bapak dipanggil Tuhan, Emak bisa tetap mandiri ekonomi, nggak pernah minta-minta jatah ke anak, karena usaha jualan. 

Tapi apa dikata, saya cukup lama terninabobo oleh status karyawan perusahaan besar dan gaji yang lebih dari cukup (buat ukuran saya).  Yups, saya memang sudah melakukan terobosan dengan berani resign. Agar bisa tinggal bersama suami memang  alasan besarnya. Tapi, sewaktu resign saya memang sudah berpikir untuk “bekerja dari rumah”.

Jadi penulis lepas. Yak, itu cita-cita saya. Nggak berlebihan dong, secara tadinya kerja jadi wartawan. Apa susahnya jadi penulis lepas? Ya to? Ya to? Harusnya ini seumpama kerja jadi koki di restoran trus resign dan punya resto sendiri. Gampaaang.

Jadi penulis lepas kan nggak jualan. Nulis, kirim tulisan, tunggu lolos seleksi apa enggak, terus kalau lolos seleksi dapat honor. Eh..waktu itu nggak mikir kalau proses ini pada dasarnya juga : memproduksi > memasarkan > kalau laku dapat uang. Saya berpikir “menulis adalah pekerjaan intelektual”. Sok intelek gitu lohhh… Beda dong menulis  ama jualan yang “benar-benar pekerjaan ekonomial” (wew..ada gitu istilah ekonomial?hijijiji).

Tapi faktanya hari-hari itu saya justru terkungkung writer’s block yang parah. Sangat tidak produktif  menghasilkan tulisan yang “jadi”. Walapun tiap hari berusaha menulis, tapi banyak berakhir  menjadi file yang “tak jadi.” Saat itu sih berkutat dengan pertanyaan “WHY..WHY..WHY” tanpa ngerti sebabnya. Sekarang sih sudah agak-agak bisa menduga “BECAUSE-nya”.

Salah satunya yak arena GENGSI segede gaban ituuu…

Gengsi kalau tulisan enggak bagus. Maka itu, setiap awal menulis sudah mematok target tulisan harus keren. Malu dong, bekas wartawan kok tulisannya kacau. Akhirnya malah nggak produktif… sediiih.

Tapi saya nggak diem aja. Berani mencoba hal baru. Yak, memutuskan untuk membuang gengsi dengan bekerja jualan. Tapi tetap gengsi nih kalau mesti jualan langsung. Nggak BAKAT, saya beralasan. Jadi deh buka toko online. Kan keren toko online… tampak melek teknologi (padahal aslinya gaptek xixix).

Jualan cloth diaper, popok kain yang bisa nyerap ompol kayak pampers. Pilih produk ini juga karena gengsi, gengsi dong kalau produk biasa-biasa saja. Nah, saat itu clodi belum sebuanyaak sekarang (walau sudah banyak juga sih), trus ada embel-embel kampanye go green. Keren kan?

Fiuuuuh…

Pas lagi mulai jualan onlen, ditawari temen gabung dBCN. Apa seeeh dBCN? Oooh ternyata yang iklannnya sering banget saya lihat kalo lagi onlen. Iklannya ada di mana-mana, di berbagai web deh. Iklan dengan banner Mbak Nadia atau banner “Mama kerja di rumah”. Persis seperti respon Mbak Yulia, nggak terpengaruh sama sekali dengan iklan yang gonjreng-gonjreng itu. Bahkan, klik pun belum pernah.
Bukan karena saya anti MLM, wong belum pernah punya pengalaman buruk dengan MLM. Tapi itu tadiiii, saya nggak tertarik kerja jualan. Pas zamannya lulus kuliah dan mulai kirim-kirim aplikasi, jenis pekerjaan marketing sudah sedari awaaal saya coret dari alternatif. Carinya jelas perusahaan yang bonafid dong.  Dan doa waktu itu terkabul..
Sampai bagian ini jadi males baca kali ya…kekekeke.  

Tapi cerita tetap saya lanjutkan (kalau males kan tinggal close toh? Hihihihi). Gabung dBCN karena embel-embel “bisnis onlen-nya”. Secara waktu itu mulai usaha toko onlen, jadi pengin tauuuu, gimana sih “online marketing?” Terlebih yang ajak temen sendiri, yang secara ekonomi juga tampak sudah kecukupan, pasti ada sesuatu yang menarik di dBCN. Saya mengabaikan fakta bahwa “bisnisnya dBCN adalah Oriflame” which is kosmetik sementara saya blassss blis blus ga suka dandan. Kumaha engke alias gimana nanti deh. Ini salah satu sifat dasar saya : spontan dan kadang cenderung hantam kromo. Lah, daftar “hanya” Rp 39.900. Kalaupun nggak dapat manfaat, toh hanya Rp 39.900… bakso paling empat mangkok (kalo harganya cemban .. banyak tuh bakso yang harganya lebih mahal).

Jadi waktu itu tertariknya memang bukan karena "peluang penghasilan dan reward yang so high" itu. Lha wong sampai berbulan-bulan gabung MLM Oriflame, saya masih dilema antara "bersyukur dengan apa yang ada" dengan "keinginan menjadi kaya"... Dilema yang nanti terjawab. 

Dan ternyataaaa…. di sinilah saya digojlok abis-abisan. Kalau jadi karyawan, mau kerja biasa-biasa juga tetap dapat gaji. Kalau nggak parah-parah amat, nggak mungkin dipecat (kecuali perusahaan memang sedang program restrukturisasi karyawan). Tapi kalau kerja sendiri : males-malesan, nggak kreatif, banyak mengeluh, cepet menyerah >> ya sudah, wassalam.

Dulu tuh, sampai beberapa bulan gabung Oriflame, saya masih gengsi show off pakai status-status di facebook. Bahkan, rasanya maluuu kalau dimention sama upline terkait dengan bisnis ini. Saya maunya pakai inbox atau SMS. Saya juga maunya pake blog, sampe bela-belain bikin blog berbayar yang berbasis wordpress padahal sampai sekarang saya masih lebih nyaman pakai blogspot. Emhh, waktu itu belum dapat training “FB marketing” siiih.. jadi FB-nya masih sekedar buat eksis.

Saya juga maluuuu nawarin katalog. Jadi yang saya lakukan ngasih atau nitip katalog, lalu sudah. Nggak ada tuh rayuan pulo kelapa promosiin ini-itu produk baru atau yang lagi diskon. Bersyukurnya, di lingkungan saya, Oriflame sudah punya nama. Rata-rata sudah pada ngerti Oriflame dan suka kualitasnya.

Intinya itu deh, gengsi dua hal itu. Gengsi yang bikin saya lambaaaat. Tapi masih beruntung (orang kita kan memang selalu beruntung yaaa heheheh) dan bersyukur, karena alih-alih balik badan, saya justru malah penasaran…penasaraan..dan penasaran.

Oke, mungkin saya akan dianggap pantang menyerah. Tapi sebaliknya mungkin juga disebut naïf dan sudah kena cuci otak. Ya apalah anggapan orang deh. Sekarang saya nggak peduli lagi. Pohon dinilai dari buahnya kan… sebuah pohon bisa saja rimbun, ruwet, mengerikan, banyak durinya… tapi kalau buahnya manis-sedap-lezat tetap dicari tuuh.

Lunturnya gengsi adalah salah satu buah manis yang sudah saya nikmati. Sekarang, gengsi saya nggak lagi segede gaban.  Memang “buah ini” baru saya nikmati sendiri. Tapi nggak apa-apa, kalau saya terus bertumbuh, nggak mustahil nanti buah-buahnya juga dinikmati orang lain.

Buat saya, Oriflame dan dBCN memang tempat belajaaar mentaaal usaha dari NOL. Makanya, saya nggak bertanya “WHY-WHY-WHY” kalau lihat dBCN-ers yang cepat sukses. Mbak Eka Satriana sudah punya mental usaha yang oke sebelum gabung Oriflame. Mbak Yulia Riani sudah kenyang yang namanya proses dari  trial and error bikin kue.  Bahkan, yang seperti ini pun, bukannya tak menghadapi tantangan ketika bekerja sebagai member Oriflame.

Semua memang perlu proses. Pasti banyak dBCN-ers atau bahkan Oriflamers yang bermimpi karirnya bisa melesat cepat. Tapi mungkin sebagian lupa, bahwa semua butuh proses dan cerita masing-masing orang adalah unik. 

I’m on the way to make my own story.

Lisdha
Telp/SMS/WhatsApp 087892030743


Tidak ada komentar:

Posting Komentar