gambar pinjem dari SINI |
Ada satu peristiwa yang jadi salah satu pendorongku
untuk resign dan menjadi ibu rumah tangga. Ya maklum, waktu itu kerjaanku nggak
nine to five, yang kalaupun ada kejadian pulang malam pasti bukan rutinitas.
Kerja pencari dan penulis berita, berangkatnya sih tergantung ada liputan jam
berapa. Bisa gasiiik, bisa juga menjelang siang. Pokoknya urusan berangkat
fleksibel. Nggak macam pekerja yang mesti masukin kartu absensi ketika masuk
jam kerja. Tapi pulangnya nih yang nggak kuku. Sudah pasti malam hari. Karena
mesti nulis dan lebih disukai editor kalau
nunggu sampai berita selesai diedit.
Apalagi waktu di desk olahraga. Pertandingan biasanya
baru kelar menjelang petang, atau bahkan ada pertandingan malam. Jadi pulang
malam-malam itu memang sudah keseharian. Memang kadang bisa juga sih selesai
gasik. Tapi gara-gara biasa pulang malem, jadi malah aneh kalau jam delapan
malam sudah di kost-an. Apalagi waktu itu masih lajang. Kalau kerjaan selesai
gasik, pasti pilih kabur nongkrong atau nonton. Bandung gitu… nggak pernah
kehabisan destinasi hang out.
Suatu waktu, posisi salah satu wakil redaksi dipegang
oleh senior perempuan. Demi privasi kusebut saja Mbak E yang sebelumnya
bertugas dan tinggal dengan keluarganya di Jakarta. Mbak E sudah punya tiga
anak cewek yang cantik-cantik. Waktu itu yang bungsu belum SD. Sehubungan dengan promosi jabatan di Bandung, keluarga Mbak E jadi tinggal terpisah. Jakarta
– Bandung, memang nggak terlalu jauh sih. Mungkin itu juga salah satu
pertimbangan Mbak E bersedia ditugaskan di Bandung. Yang aku tahu, kalau sudah
hari Jumat, Mbak E pasti cepat-cepat membereskan pekerjaannya supaya bisa
segera balik Jakarta. Atau kalau anak-anak lagi libur sekolah, mereka yang ke
Bandung mengunjungi sang bunda.
Suatu kali anak-anak berkunjung sekalian liburan ke
Bandung. Alih-alih pulang duluan ke rumah tinggal (atau hotel?), mereka pilih
menunggu sang bunda selesai kerja. Hari sudah malam dan si kecil sudah
mengantuk. Di kantor sebenarnya ada kamar yang cukup bersih. Biasa digunakan
para karyawan kalau menginap di kantor. Tapi
letak kamar berjarak dengan meja sang bunda. Nggak terlalu jauh
memang..masih satu lantai. Tapi namanya anak-anak. Mungkin pengennya dekeeeet
sang bunda. Jadilah si kecil pilih tiduran di kolong meja bunda dengan dialasi
kasur lipat.
Eh, saat itu aku bahkan belum memutuskan akan menikah
atau tidak. Tapi entahlah, melihat itu aku berpikir : kalau nanti punya anak,
aku nggak pengin kayak gitu. Aku mau kalau sore sudah di rumah. Jadi bisa
membantunya bikin PR atau mendongeng untuknya sebelum tidur. Secara dengan
kerjaan saat itu, hal-hal seperti itu mungkin akan menjadi kesempatan yang
langka. Atau kalaupun bisa mungkin dengan salah satu pengorbanan, kerja kurang
optimal mungkin.
Padahal, situasi
seperti itu nggak tragis-tragis amat kan? Banyak ibu-anak yang terpisah
jauh-dan-lama karena situasi dan kondisi. Ada teman lamaku yang sudah bertahun-tahun
tak keruan kabarnya di Malaysia. Anak semata wayangnya diasuh si suami. Entah
bagaimana kabar terakhirnya, mungkin si suami sudah menikah lagi –karena memang
sudah diizinkan oleh keluarga si perempuan.
Tapi entah, melihat situasi yang nggak tragis saja, di
otakku melintas pikiran demikian. Aku mau kalau sore sudah di rumah. Jadi bisa
membantunya bikin PR atau mendongeng untuknya sebelum tidur. Ini memang
pilihan yaaaa… aku nggak pernah
mengatakan bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah pilihan paling tepat-baik-dan-mulia
bagi perempuan.
Aku menikah dan kepengin hamil (iyai, bahkan saat
menikah pun, aku belum terobsesi hamil). Hampir setahun menjalani long distance marriage membuatku memilih untuk resign. Tinggal
bareng suami, Puji Tuhan tak lama kemudian aku hamil.
Ketika bocah laki-lakiku masih keciiiil bahkan ketika
masih di perut, aku suka bercerita padanya. Cerita dongeng, maupun cerita remeh
temeh keseharian. Katanya, itu mendekatkan hubungan ibu dan anak. Juga melatih
komunikasi si anak. Waktu itu dia masih keciiil, responnya paling hanya ah-uh-ah-uh,
walau mungkin otaknya seperti spon yang sedang menyerap air.
Kini manusia kecilku, Ale, sudah 2,5 tahun. Sudah suka nonton
televisi atau DVD. Sudah bisa pilih mau nonton apa saat ini. Teletubies dan
Cars sejauh ini masih jadi favoritnya.
Yang menggelitik perutku : kalau menjelang tidur,
anakku lebih suka nonton youtube daripada dongeng ibunya. Beuuuuh, ironis
sekali kan dengan latar belakang di atas? Kalaupun mau membaca buku atau mendengar
dongeng, pasti nanti harus ditutup dengan youtube. Memang gampang juga sih
akses youtube. Bahkan Nokia E63-ku yang sudah tergolong HP-ula (usia lanjut)
pun sudah bisa beryutubria. Saat-saat ini, "dongeng" wajib Ale sebelum tidur adalah video "liu-liu" >> istilah Ale untuk mobil dengan sirine, baik itu mobil patroli, ambulan, maupun pemadam kebakaran.
Mungkin aku yang kurang pandai mendongeng? Atau memang
kemajuan zaman, anak-anak pun lebih suka “didongengi” oleh youtube. Jadi memang harus bersiasat, melihat yutub sambil nyerocos njelasin gambar sampai dia tertidur.
Berbahagialah ibu-ibu, baik ibu bekerja maupun ibu
rumah tangga, yang dongengnya masih menjadi favorit anak-anak.
------------------------------------------------------------------------------
bunda lagi dilema keluarga dengan kerja?
kerja di rumah yuk
klik gambar yaaa..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar