gambar pinjam dari SINI |
Minggu (23/12) siang sehabis makan, aku "ketemu" film
Snowglobe di Fox Family Movie. Nggak dari awal sih nontonnya, tapi dapeeeet
pesan moralnya.
Inti ceritanya tentang seorang gadis penjaga toko
kue bernama Rachel yang lagi eneg dengan kesehariannya. Ibu yang kurang
memahami, saudara yang kompak, juga ada Eddie -cowok tetangga yang naksir tapi
buat Rachel justru terasa nyebelin, etc… Itu terjadi di bulan Desember. Bulan
di mana Rachel memimpikan sebuah Natal yang menyenangkan.
Aku enggak tahu, kapan dan di mana Rachel
mendapatkan snowglobe, bola kristal beirisi miniatur “desa Natal” (karena seperti
kutulis tadi, aku nggak dari awal nontonnya).
Ternyata itu bukan sembarang bola kristal. Bola itu ditaruh Rachel di
meja kecil sebelah tempat tidurnya. Saat Rachel tidur, bola mungil itu seolah membawanya masuk ke dalam. Tiba-tiba Rachel berada dalam “desa Natal”
itu. Desa kecil dengan salju yang lembut, pohon-pohon cemara yang manis,
orang-orang yang ramah, dan di setiap
sudut terasa sekali aroma Natal. Inilah suasana Natal sempurna yang diimpikan
Rachel.
Rachel merasakannya sebagai mimpi. Ketika terbangun,
dia kecewa karena harus kembali ke kehidupannya yang tidak menyenangkan. Pada
pengalaman pertama, Rachel benar-benar hanya menganggapnya sebagai mimpi.
Namun, ketika Rachel kembali tidur, mimpi itu ternyata berlanjut. Di desa Natal,
Rachel berteman dengan seorang pemuda bernama Douglas. Pemuda yang sempurna di
mata Rachel. Douglas memberinya sebuah kado Natal berisi kaus tangan berwarna
merah. Ketika Rachel bangun, kaus tangan itu benar-benar ada di tangannya!
Rachel terkejut.
Sejak saat itu, Rachel sering “menghilang”, tak ada
ketika dicari ibu-nya, terlambat kerja… Rachel sering tidur agar bisa berkunjung ke desa Natal. Di desa
tersebut, Rachel semakin dekat dengan Douglas dan membuat seorang gadis bernama
Marry cemburu. Suatu saat, sehabis bermain ski bersama Douglas, Rachel melihat
jam tangan dan dia terkejut karena sudah waktunya makan malam bersama keluarga.
Rachel pun pamit kepada Douglas, menyuruhnya menunggu karena dia akan bilang pada keluarganya untuk
tidak makan malam bersama.
Namun, sesuatu membuat Rachel tidak bisa menghindar
dari makan malam keluarga, dimana saat itu, Eddie juga datang. Tak disangka,
Douglas muncul dari dalam kamar Rachel dan membuat semua orang di rumah itu terkejut. Alih-alih
menjelaskan keanehan yang terjadi, Rachel justru tak mau ambil pusing dan
memilih mengajak Douglas berjalan-jalan di Kota New York. Keanehan pun terjadi
karena ternyata Douglas benar-benar terlihat “berasal dari dunia lain”, dunia
sesempit bola Kristal. Douglas takut pada eskalator, menyapa semua orang, kagum
atau takut pada benda-benda keseharian yang baginya tampak asing. Namun, Rachel
masih berusaha memahaminya sebagai “kekagetan” sementara.
Paginya, Rachel yang harus bekerja tidak berani
meninggalkan Douglas di apartemen. Meski segan setengah mati, Rachel
“menitipkan” Douglas pada Eddie. Rachel mulai kesal karena ternyata situasi tak
seindah yang dia bayangkan.
Keributan terjadi ketika keluarga Rachel kembali
berkumpul (juga ada Eddie di situ), seorang gadis tiba-tiba muncul dari kamar
Rachel. Gadis itu Marry.. Dia marah pada Rachel yang dianggapnya telah merebut
Douglas.
Seperti mendapat jawaban dari masalahnya, Rachel
menjelaskan bahwa Douglas dan Marry berasal dari desa Natal dalam bola kristal.
Keluarganya tak percaya. Untuk membuktikan, Rachel mengambil bola kristal untuk
mengirim Douglas dan Marry kembali. Namun,
justru Rachel yang masuk ke dalam bola kristal sedangkan Douglas dan
Marry tetap di dunia nyata. Celakanya lagi, ketika Rachel masuk, bola kristalnya
jatuh dan tuas pemutarnya rusak. Rachel terperangkap di dalam.
Di dalam bola kristal, Rachel berusaha mencari jalan
keluar namun tak bisa. Rachel marah-marah kepada semua orang yang dijumpainya.
Termasuk kepada Joy, seorang perempuan paruh baya yang pintar masak kalkun
panggang. Rachel menganggap bahwa kedamaian dan keceriaan Natal di desa itu
adalah palsu.
Pesan moralnya di sini nih, ketika Rachel yang putus
asa “ndeprok” di salju (mudah2an suatu saat aku juga bisa ndeprok di salju
seperti itu :D). Joy menghampiri Rachel dan berkata bahwa mungkin Natal mereka
tak sempurna. Natal di mana orang-orang hanya bertukar kado kaus tangan dan
penutup telinga (Ya, hanya dua benda itu!). Tapi itulah Natal mereka. Natal
yang mereka terima dengan sukacita.
Rachel pun teringat keluarganya. Natal keluarganya,
Natal yang jauh dari situasi Natal impiannya. Ibu yang terasa mengekang,
saudara yang ingin menang sendiri, ayah yang kurang memahami… Tapi itulah
Natal-nya. Rachel tiba-tiba merindukan mereka.
Tiba-tiba ada seorang kurir datang (yang pasti bukan
kurir Tiki atau JNE :P) membawa paket untuk Rachel. Ternyata isinya sebuah bola kristal dengan
miniature apartemen sederhana di dalamnya. Mirip situasi apartemen Rachel. Joy
tersenyum, Rachel paham. Dia menutup mata dan sekejap sudah kembali berada di
apartemennya. Singkat cerita, atas bantuan Eddie yang mereparasi bola Kristal,
Douglas dan Marry bisa kembali ke dalam desa Natal.
Ending yang happy.
Penonton (aku) juga happy. Soalnya, jadi seperti
diingetin, kadang merasa “acara Natal begitu-begitu saja” (tapi juga nggak kasih
ide konsep natal yang berbeda). Atau juga merasa kecewa karena penginnya sih
bisa ngumpul seluruh keluarga, terus makan malam bersama dengan obrolan yang
hangat, lalu doa bersama.. Bagi sebagian orang, mungkin sudah jenuh dengan
ritual semacam itu. Tapi aku belum pernah, dan aku membayangkannya sebagai
natal yang sempurna.
Aku jadi merasa seperti Rachel yang kadang terjebak dalam kedangkalan, mendambakan
Natal yang sempurna. Padahal, sebetulnya, kita sudah diberi “natal yang
sempurna”. Terlebih, secara duniawi, peristiwa Natal sendiri sudah tak
sempurna. Yesus lahir sebagai manusia (dan tak ada manusia yang sempurna kan?).
Yesus lahir di kandang domba (kandaaaang, buka kamar), Yesus lahir ditemani
orang-orang bersahaja (kecuali orang Majus), Yesus lahir membawa kegemparan
(bayi-bayi dibunuh atas perintah Herodes).
Tak pernah ada Natal yang sempurna, kecuali kita
memandangnya “sempurna”. Mudah-mudahan setiap kita bisa memiliki mata yang
mampu melihat “kesempurnaan Natal.”
Selamat Natal untuk semua pembaca yang merayakannya. Tuhan Yesus
memberkati!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar