Dari kondisi punya gaji bulanan yang oke terus
tiba-tiba enggak punya gaji sama sekali. Terjun bebas. Kondisi kontras.
Yak, itu yang saya alami setelah memutuskan resign.
Long distance marriage (LDM) dengan peluang akan selalu/sering LDM jika saya
atau suami (BJ) bertahan di pekerjaan masing-masing membuat saya memutuskan
out. Banyak sih pasangan yang LDM bahkan sampai punya anak dan bisa
bertahan, dan baik-baik saja. Tapi saya nggak ingin pola keluarga seperti
itu. Saat resign, saya belum punya anak. Tapi saya berpikir, seandainya punya
anak, saya nggak ingin dia jarang ketemu bapaknya. (Dan kalau saya tetap dengan kerjaan yang dulu, alamat anak nggak cuma jarang ketemu bapaknya, tapi juga emaknya kekeke)
Pilihannya memang cukup berat. BJ atau saya yang
resign. Wewww, ini kerjaan impian saya jeuuu. Tapi baiklah, atas dasar
pertimbangan psikososial, akhirnya saya memutuskan resign. Saya yang
MEMUTUSKAN. Bukan BJ yang nyuruh. Malah
BJ sempat meminta saya berpikir panjang
tentang keputusan ini. Takut kalau saya stress kali.. biasa bebas keluyuran kemana-mana terus tiba-tiba di rumah aja gitu lhooo...
Apalagi BJ juga tahu, jadi ibu rumah tangga bukan profesi
impian saya. Tapi it’s ok, saya ambil tantangan jadi ibu rumah tangga. Masa sih nggak bisa... bisa menjalani beberapa tantangan maskulin, masa menjalani tantangan yang feminin gak bisa.. TERLALU, pinjem istilah Bang Rhoma yang lagi pengin nyapres.
Dan ini memang profesi yang menantang. Salah satunya
tantangannya yang saya sebut di judul tulisan. KANGEN GAJI.
Ihiiiir, jujur kacang ijo! Dibilang
matre ya saya terima (sudah sering dibilang begitu sama BJ kekekekek).
Bukan karena saya nggak dikasih gaji sama BJ. BJ
tanggung jawab kok. Bahkan ketika dulu saya masih gajian, BJ tetap transfer
gaji-nya ke saya (yang mana waktu itu masih gedean gaji saya -iih ini harusnya
rahasia rumah tangga ya hihihihi).
Bukan karena saya merasa kurang dengan gaji BJ.
Kalau menuruti keinginan sih, maunya gaji yang gedeeee, lebih gede dari Gaban.
Tapi, kami berusaha untuk mempraktikkan
kata Alkitab : bersyukurlah senantiasa. Toh, lihat dari pengalaman hidup
orangtua kami, dengan penghasilan rutin yang jauh dari kami sekarang, toh bisa
juga menghidupi keluarga. So, cukup itu bukan dari jumlah, tapi dari (usaha)
bersyukur.
Dalam situasi ini, kalau memakai hierarki Maslow,
saya kangen gaji bukan karena kebutuhan fisiologis atau rasa aman (toh sudah
dipenuhi suami). Tapi lebih ke kebutuhan “aktualisasi diri”. Adanya gaji bukan
untuk beli makan, tapi beli rumah hahaha (sekarang kan masih kontraktor niih). Gaji untuk perasaan eksis, perasaan berdaya, perasaan “ini lho aku juga bisa.”
gambar dari SINI |
Punya gaji sendiri (dan jumlahnya pun lebih dari
cukup) ibaratnya memiliki kemerdekaan finansial. Dan akibat resign (tanpa
memiliki pekerjaan pengganti lebih dulu), kemerdekaan tersebut langsung
terenggut.
Fiuuuh… bahasanya itu lloh..kemerdekaan langsung
terenggut (dijajah kaleeee xixixi).
Mungkin, ini salah satu hal yang bikin ibu-ibu
bekerja takut resign, meski ada kondisi
memanggil dia untuk “kembali ke rumah.” (Eh saya nggak anti working-mom yaaaa….
Cateeet hehhehe). Tapi saya percaya dan relatif membuktikan kalau cukup akarnya
bukan jumlah, melainkan dari rasa syukur dan usaha untuk menyesuaikan gaya
hidup dengan penghasilan. Pernah dengar,
gaji sedikit kurang, eh gaji banyak nggak nyisa. Itu saya rasakan. Dulu pas
masih single, bisa nabung, tapi enggak jelas bentuknya (dulu buta investasi
booo’). Setelah merid, dua gaji, bisa nabung lebih tapi nggak berarti terus
kaya raya. Setelah resign, satu gaji, masih bisa nabung juga dan malah jelas
bentuknya. Ini kali yang namanya berkah pernikahan yaaa… manajemen keuangan
jadi lebih tertata walaupun itu juga butuh proses.
Back to kangen gajii..
Bersyukurrrr sekaleee kangen gaji bukan karena
desakan kebutuhan. Ya dong, ngebayangin yang tiba-tiba putus gaji karena PHK,
padahal masih punya tanggungan (keluarga/kredit dan lain-lain yang butuh uang
rutin). Apa nggak stresss banget tuh tiba-tiba stop gaji? Apalagi kalau uang
pesangon tak memadai dan belum ada kerjaan pengganti.
Tapi ini masalah aktualisasi diri. Juga tanggung
jawab sosial. Dulu nih, suka merasa berdosa kalau “pengin kaya”. Tapiii,
belakangan konsep saya dibalikkan. Hidup cukup itu baik, tapi hidup berlimpah
itu lebih baik. Kualitas hidup jadi lebih baik, juga jadi lebih leluasa tuh
bantu-bantu orang. Saya bantu orang
paling bisa puluhan/ratusan ribu. Kalo Bill Gates ? Bisa miliaran dong.
Katanya hidup itu harus BBM : Berkat, Berlimpah,
Manfaat!
Kangen gaji nggak bikin saya menyesal resign
(kalaupun ada situasi-situasi di mana
saya kangen kerjaan dulu, bukan berarti
saya pengin kembali). Saya sudah niat bulat, mau kerja di rumah, being WaHM, work at
home mom.
Kangen gaji bikin saya kreatif. Karena sudah nggak
pengin kerja karyawan, jadi harus ngerjain kerjaan yang fleksibel dalam hal
waktu, tempat, daaaaan…modal.
Puji Tuhan sudah KLIK dengan KERJAAN INI. Iya, saat
nulis note ini, gajinya memang belum segede dulu. Tapi potensinya bisa kok
sampai segede dulu, bahkan lebiiiih. Semua butuh proses kan..
Dan saya menyukai proses saya hingga sejauh ini. Sekarang juga nggak lagi nunggu gaji atau sekedar kangen gaji..
gambar pinjem dari sini |
Sekarang musimnya "mengusahakan gaji"... kekekekke.
Semangaaat!!!
Discover how 1,000's of people like YOU are earning their LIVING from home and are fulfilling their wildest dreams right NOW.
BalasHapusGET FREE INSTANT ACCESS