Selasa, 11 Desember 2012

Gagal (Ngajarin) Gosok Gigi



gambar dari SINI



Kegagalan memang tidak menyenangkan. Tapi, sebagai ibu, saya sudah jelas-jelas gagal lulus mata kuliah “mengajar gosok gigi”. Anak saya, Ale (2,5 tahun) nggak suka gosok gigi. Nyaris 100 persen enggak suka, enggak mau. Diajak, dibujuk, diminta, dikasih contoh, diajak sikat gigi bareng, sampai…. dipaksa… tetap enggak mau! Sudah bagus kalau dia mau pegang sikat giginya lalu masuk-masukin ke mulut. Walau itu jelas nggak maksimal.

Padahal, saya  mengenalkan gosok gigi pada Ale sejak  giginya mulai terlihat tumbuh sebagai garis putih di gusi. Gigi pertamanya adalah satu gigi seri bagian tengah atas. Sesuai saran ibu-ibu yang lebih senior maupun  berbagai referensi,  gigi dan gusi mungilnya saya lap menggunakan kain lembut. Eh belakangan baru baca referensi yang menyarankan pengenalan gosok gigi bahkan sebelum gigi tumbuh. Istilah lebih tepatnya tentu “lap gusi” yaa hehehe. Tujuannya agar bayi terbiasa sehingga nantinya lebih mudah diajak gosok gigi.

Entah karena terhitung terlambat (jika dibandingkan dengan referensi yang telat saya baca), atau karena  sebab lainnya. Di awal-awal masa pengenalan itu, menggosok gigi/gusi Ale masih urusan mudah. Toh dia masih bayiiii, masih belum bisa keras berontak. Namun, itu tak berlangsung lama. Semakin banyak giginya, bukan semakin semangat gosok gigi. Sebaliknya justru menolak gosok gigi.

Uhuhuhuhu, syediiih…

Mulai deh emaknya intens berburu aneka referensi "merawat gigi si kecil" :

  •  Sediakan aneka sikat gigi yang menarik. Oo okay, beli beberapa macam sikat gigi, mulai sikat gigi telunjuk yang lembut (tapi harganya nggak lembut kekekek), sampai sikat gigi biasa tapi berwarna-warni atau ada gambar ikon tertentu. Ih, nggak berhasil… kalau dibelikan sikat gigi yang ada mainannya, Ale tertarik pada mainannya saja. Pernah suatu waktu ke toko swalayan dan saya ajak ke rak sikat gigi, saya minta pilih sendiri.  Dia ambil sikat gigi dengan mainan bola. Saya bilang, “kita beli, tapi nanti Ale gosok gigi ya…”. Hasilnya : Ale pilih batal beli sikat gigi :D 
  •  Ajak sikat gigi bersama. Siaaaap! Ini kan harusnya nggak susah. Saya sikat gigi trus ajak juga dia gosok gigi. Saya pegang sikat saya, kasih odol. Lalu saya kasih sikat dia, kasih pasta dia. C’mooon, gosgi bareeeeng yuk, Naaak. Hasilnya : Ale Cuma emut-emut sikatnya. Itu mending, beberapa kali dia pake sikat giginya untuk menggosok ember mandi, bahkan dinding kamar mandi. Bahkan berkali-kali diajak gosok gigi bareng, tak hanya dengan saya, tapi bertiga dengan ayahnya. Tetap nggak mau. 
  •  Saling menggosok gigi. Saya pegang sikat giginya, saya kasih dia sikat gigi saya. Mulut saya menganga, memberi contoh agar dia juga membuka mulutnya. Hasilnya : dia suka bangeeeet gosok-gosok gigi saya. Tapiii, menolak untuk saya gosok giginya. Huhuhuhu, nggak fair :D 
  •  Membujuk gosok gigi dengan aneka cara. Membujuk dengan menyanyi. Membujuk dengan berbagai gerakan (misalnya mengumpamakan sikat gigi sebagai pesawat terbang yang meliuk-liuk lalu ingin mendarat di mulutnya). Membujuk dengan sikat gigi di depan cermin. Hasilnya : tetap nihil. 
  •  Sampai suatu hari saya pulang kampung dan oleh Oom saya disarankan agar “sedikit dipaksa”. Duuuuh, sebenernya dari lama sudah menghindari “main paksa”, tapi melihat ketidakberhasilan selama ini, plus lihat gigi anak-anak Oom yang bagus-bagus, saran itu jadi terasa masuk akal. Pertama, oom saya yang mengajari cara “memaksa”. Oom jongkok, lalu Ale dipeluk kuat, lalu mulailah dipaksa gosok gigi. Hasilnya jelas menangis. Tapi justru saat buka mulut karena menangis itulah sikat gigi dimasukkan.   Di hati kecil, saya nggak suka cara ini. Selain memaksa juga rawan gusi kena sodok saat dia meronta. Tapi sempat saya jalankan juga gara-gara saking merasa susah kehabisan akal *weew, contoh  yang nggak baik deh.  Tapi juga nggak bisa berlangsung lama. Sebab, Ale juga makin tahu cara  m mengelak. Kalau semula dia menangis dengan membuka mulut lebar-lebar, sekarang dia menangis sambil menutup mulut dengan tangan. Cara ini saya tinggalkan.

Tapi… mesti bagaimana lagi ya? Rasanya gosok gigi jadi lebih sebagai test kesabaran daripada sekedar urusan kebersihan.  Apalagi sekarang Ale sudah mulai kenal permen dan cokelat.  Suka permen dan cokelat plus ogah gosok gigi. Sudah deeeh, kombinasi yang tepat untuk menghancurkan gigi susunya.

Di umur 2,5 tahun ini, gigi seri atas Ale sudah nyaris habis. Permukaan gerahamnya juga sudah dihiasi plak-plak. Ihiksss…emaknya sedih. Tapi Ale  sih pede-pede aja ketawa-ketiwi meringis. Sejauh ini saya masih tetap berusaha mengajaknya gosok gigi, walau belum ada kemajuan berarti.
Ale dengan gigi geripisnya

Kalau  dewasa nanti  gigi Ale enggak rapi sih, saya enggak terlalu mempersoalkan. Lha wong, gigi saya dan misua juga nggak rapi. Yang saya khawatirkan adalah “sakit gigi.” Takutnya pas belum ganti gigi nanti, dia sering sakit gigi. Saya sudah lihat beberapa anak tetangga yang sakit gigi. Bisa sampai absen sekolah lho..

Ada yang inget lagu dangdut legendaris : lebih baik sakit gigi, daripada sakit hati.

Boleh saja sih Meggy Z nyanyi begitu. Tapi, coba yang lagi sakit gigi, mungkin akan bilang “lebih baik sakit hati, daripada sakit gigi.” Karena sakit gigi itu sangat menyiksaaaaaa.

Aiiiih, Ale apa harus sakit gigi dulu supaya mau gosok gigi?

3 komentar:

  1. nice share mba..
    keep posting :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih kunjungannya mbak rulaay :)
      juga supportnya utk keep posting :)

      Hapus
  2. coba pake dongeng. Dah di coba blum. Kalo hana, misal py kebiasan buruk ga mau keramas, na, dongengnya berubah deh" si Kici kelinci malaes keramas. Tadi pagi dia garuk kepala karena kutuan" manjur deh he he he

    BalasHapus