Sabtu, 01 Desember 2012

Kau-pun Sering Begitu Pada-KU


gambar pinjem dari SINI


Dulu saya sempat males menikah. “Lah ngapain menikah, kalau sendiri saja bisa hepi begini?” Mandiri aktifitas, mandiri finansial… rasanya sudah cukup. Apalagi nggak ada ortu yang selalu mengejar-ngejar agar  saya segera menikah (tapi saya yakin, beliau selalu mendoakan).

Well, sindrom pasca emansipasi yang saya yakin nggak hanya sempat nangkring di kepala saya, tapi mungkin juga Anda yang sedang baca tulisan ini. Hayoo ngakuuu …. Hijijiji.
Menikah itu ibadah.

Lha tapi kalau menikah dan isinya berantem melulu… apa jadi ibadah? Saya selalu punya jawaban penyanggah.

Belum juga menikah sudah ngebayangin berantem. Trauma ortu suka berantem yak? Eh enggak. Ortu saya terpisah karena maut, bukan karena pengadilan. Selama masih bersama, beliau berdua memang bukan pasangan yang selalu tampak serasi ala almarhum Sophan Sopian dengan Widyawati. Tapi sejauh saya ingat, almarhum bapak dengan emak tak pernah bertengkar hebat sampai mendatangkan pesawat luar angkasa (baca : piring terbang).  Iyaaa, kadang saya tahu beliau berdua lagi marahan. Tapi enggak pernah yang sampai dramatis nan tragis.

Intinya, secara umum, bapak-emak tergolong keluarga yang rukun.

Kalau saya males menikah, itu salah satunya karena saya merasa pernikahan adalah situasi yang kompleks. Yang sulit. Karena dua kepala harus jadi satu rumah dalam periode yang lamaaa dan menerus. Gimana kalau bosen? Gimana kalau nggak cocok? Ih, saya mah enggak seperti bupati Garut yang berprinsip “pernikahan seperti transaksi jual beli. Kalau setelah saya beli spek-nya nggak cocok, boleh dong saya kembalikan.”  (disadur dari artikel di “Majalah Detik”)

Asliiii…tertegun, ternganga, terperanjat baca pernyataan Pak Bup? Sungguhan itu? Bolehkah saya berharap wartawan Detik salah kutip?

Perceraian nggak ada sama sekali di kamus saya, di angan-angan saya. Bahkan itu nightmare buat saya. Makanya, mending nggak merid daripada ntar cerai …. Pernyataan yang kalau dipikir sekarang : PENGECUT banget yaaa… nggak berani menghadapi tantangan.

Dan memang, walaupun saya selalu berada di antara kutup menikah-nggak-menikah-nggak-menikah…. Ya akhirnya memang menikah. Proses yang saya yakin ada campur tangan kuat Tuhan. Lha wong barusan galau karena ragu menikah, trus putus, eh tiba-tiba ketemu teman lama dan langsung “oke, ayo kalau kita merid.”

Jalan hidup sering tak terduga.

Meski demikian, sedari awal saya sudah berpikir bahwa ini mungkin tak akan mudah. Tak akan selalu mulus. Terutama karena saya punya ego yang tinggi (eh lha perempuan pasca Kartini gitu… lebih berdaya, merasa bisa, mampu melawan, nggak mau dijadikan “konco wingking” saja)

Dan memang.. empat tahun ini bagai petualangan. Kadang hepi, kadang sedih, kadang berantem, kadang galau, kadang kangen. Tapi bersyukur, seperti di rumah tangga orangtua kami, saya dan BJ juga belum pernah berantem sampai main UFO hehehe.  Berantemnya sopan… cenderung diem-dieman daripada adu suara (bukan penyanyi sih :D)

Uniknya, sering kali pertentangan itu hanya karena hal sepele. Seperti BJ sembarangan naruh handuk. Atau BJ travelling keluar kota dan terlalu sibuk sehingga nggak sms/telp. Atau saya terlalu asik dengan computer. Atau saya nggak segera tanggap ketika dibutuhkan.
Itu bukan sebab-sebab serius seperti suami-mabuk-melulu, atau istri-belanja-melulu, atau suami-anak-mami, atau istri-selingkuh. Ya kan?

Tapi yang sepele-sepele ternyata sering bikin berabe.  Apalagi saya, perempuan, yang lebih sering pakai perasaan. Sementara suami adalah laki-laki yang lebih mengunggulkan logika. Kadang saya esmosi tingkat tinggi tapi karena nggak bisa meledakkan akhirnya jadi melowyelow, eh suami tenang-tenang saja karena merasa masalah sudah selesai.

Perasaan versus logika. Venus versus Mars

Dulu saya heraaan banget ketika mendengar pernyataan senior di persekutuan mahasiswa Kristen yang bilang begini : “suami istri bisa bercerai hanya gara-gara pembersih kuping (cotton bud)”  . Tentu maksudnya gara-gara hal sepele.

Pikir saya, ah masa siiih hanya gara-gara cotton bud?

Tapi ternyata memang bisa saja. Lha kalo gara-gara “lupa naruh cotton bud” trus langsung dituduh : “kamu memang ceroboh!”. Kamu >> berarti sudah menyerang karakter keseluruhan, nggak sekedar soal cotton bud saja. Sudah deh, bisa melebar dan mengalir sampai jauuuuuh… sampai akhirnya talak.

Sedih kan?

Tapi memang begitu rasanya dinamika hidup suami istri ya… Hal-hal beginian sepertinya kok enggak aneh. Justru kalau 100 persen adem ayem itu yang aneh kali yak.. ada gitu yang adem ayem 100 persen?

Semua memang perlu proses kan yaaa…

Puji Tuhan hari-hari ini, rasanya sisi sabar saya lagi sering menang. Walapun mungkin suami nggak melihat perbedaan signifikan, setidaknya saya merasa lebih bisa menahan diri. Biasanya, kalau ada ketidakcocokan, langsung ada dua tanduk tumbuh di kepala. Tapi hari-hari ini, entah mengapa, setiap saya mulai bête sama misua karena perilaku-nya (yang nggak cocok dengan keinginan saya), rasanya selalu ada SUARA yang bilang : 

“Eh ngapain kamu bête. Kau pun sering begitu pada-KU.”
“AKU bisa memaklumi kamu, memaafkan kamu. Kamu pasti juga bisa, sayang…AKU akan bantu kamu”

AKU dalam huruf besar. Ya, seolah saya dan DIA berdialog atas kegalauan saya. Saya percaya itu suara-NYA. Sebab, DIA yang telah menyatukan kami dalam ikatan kudus. DIA yang memiliki rencana indah untuk keluarga kami. DIA yang membawa saya pada pernikahan, untuk melatih kesabaran, rendah hati, berjuang, dan bersyukur untuk hal-hal kecil.
Suara-NYA sangat menolong saya yang emosian. Walau kadang saya mengabaikan suara-NYA dan lebih mendengarkan ego saya.

“Eh ngapain kamu bête. Kau pun serung begitu pada-KU”

Perjalanan masih panjang. Mudah-mudahan kami selalu mau dengar suara-NYA. Lima hari lagi BJ dan LSD  4th anniversary.



 *saya selalu ingat kata yang memesona itu : SHMILY...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar