gambar pinjem dari SINI |
Dulu saya sempat males menikah. “Lah ngapain
menikah, kalau sendiri saja bisa hepi begini?” Mandiri aktifitas, mandiri
finansial… rasanya sudah cukup. Apalagi nggak ada ortu yang selalu mengejar-ngejar
agar saya segera menikah (tapi saya
yakin, beliau selalu mendoakan).
Well,
sindrom pasca emansipasi yang saya yakin nggak hanya sempat nangkring di kepala
saya, tapi mungkin juga Anda yang sedang baca tulisan ini. Hayoo ngakuuu …. Hijijiji.
Menikah itu ibadah.
Lha tapi kalau menikah dan isinya berantem melulu…
apa jadi ibadah? Saya selalu punya jawaban penyanggah.
Belum juga menikah sudah ngebayangin berantem.
Trauma ortu suka berantem yak? Eh enggak. Ortu saya terpisah karena maut, bukan
karena pengadilan. Selama masih bersama, beliau berdua memang bukan pasangan yang
selalu tampak serasi ala almarhum Sophan Sopian dengan Widyawati. Tapi sejauh
saya ingat, almarhum bapak dengan emak tak pernah bertengkar hebat sampai
mendatangkan pesawat luar angkasa (baca : piring terbang). Iyaaa, kadang saya tahu beliau berdua lagi
marahan. Tapi enggak pernah yang sampai dramatis nan tragis.
Intinya, secara umum, bapak-emak tergolong
keluarga yang rukun.
Kalau saya males menikah, itu salah satunya karena
saya merasa pernikahan adalah situasi yang kompleks. Yang sulit. Karena dua
kepala harus jadi satu rumah dalam periode yang lamaaa dan menerus. Gimana
kalau bosen? Gimana kalau nggak cocok? Ih, saya mah enggak seperti bupati Garut
yang berprinsip “pernikahan seperti transaksi jual beli. Kalau setelah saya
beli spek-nya nggak cocok, boleh dong saya kembalikan.” (disadur dari artikel di “Majalah Detik”)
Asliiii…tertegun, ternganga, terperanjat baca
pernyataan Pak Bup? Sungguhan itu? Bolehkah saya berharap wartawan Detik salah
kutip?
Perceraian nggak ada sama sekali di kamus saya, di
angan-angan saya. Bahkan itu nightmare buat saya. Makanya, mending nggak merid
daripada ntar cerai …. Pernyataan yang kalau dipikir sekarang : PENGECUT banget
yaaa… nggak berani menghadapi tantangan.
Dan memang, walaupun saya selalu berada di antara
kutup menikah-nggak-menikah-nggak-menikah…. Ya akhirnya memang menikah. Proses
yang saya yakin ada campur tangan kuat Tuhan. Lha wong barusan galau karena
ragu menikah, trus putus, eh tiba-tiba ketemu teman lama dan langsung “oke, ayo
kalau kita merid.”
Jalan hidup sering tak terduga.
Meski demikian, sedari awal saya sudah berpikir
bahwa ini mungkin tak akan mudah. Tak akan selalu mulus. Terutama karena saya
punya ego yang tinggi (eh lha perempuan pasca Kartini gitu… lebih berdaya, merasa
bisa, mampu melawan, nggak mau dijadikan “konco wingking” saja)
Dan memang.. empat tahun ini bagai petualangan.
Kadang hepi, kadang sedih, kadang berantem, kadang galau, kadang kangen. Tapi
bersyukur, seperti di rumah tangga orangtua kami, saya dan BJ juga belum pernah
berantem sampai main UFO hehehe. Berantemnya sopan… cenderung diem-dieman
daripada adu suara (bukan penyanyi sih :D)
Uniknya, sering kali pertentangan itu hanya karena
hal sepele. Seperti BJ sembarangan naruh handuk. Atau BJ travelling keluar kota
dan terlalu sibuk sehingga nggak sms/telp. Atau saya terlalu asik dengan computer.
Atau saya nggak segera tanggap ketika dibutuhkan.
Itu bukan sebab-sebab serius seperti
suami-mabuk-melulu, atau istri-belanja-melulu, atau suami-anak-mami, atau
istri-selingkuh. Ya kan?
Tapi yang sepele-sepele ternyata sering bikin
berabe. Apalagi saya, perempuan, yang
lebih sering pakai perasaan. Sementara suami adalah laki-laki yang lebih
mengunggulkan logika. Kadang saya esmosi tingkat tinggi tapi karena nggak bisa
meledakkan akhirnya jadi melowyelow, eh suami tenang-tenang saja karena merasa
masalah sudah selesai.
Perasaan versus logika. Venus versus Mars
Dulu saya heraaan banget ketika mendengar
pernyataan senior di persekutuan mahasiswa Kristen yang bilang begini : “suami
istri bisa bercerai hanya gara-gara pembersih kuping (cotton bud)” . Tentu maksudnya gara-gara hal sepele.
Pikir saya, ah masa siiih hanya gara-gara cotton
bud?
Tapi ternyata memang bisa saja. Lha kalo gara-gara
“lupa naruh cotton bud” trus langsung dituduh : “kamu memang ceroboh!”. Kamu
>> berarti sudah menyerang karakter keseluruhan, nggak sekedar soal
cotton bud saja. Sudah deh, bisa melebar dan mengalir sampai jauuuuuh… sampai
akhirnya talak.
Sedih kan?
Tapi memang begitu rasanya dinamika hidup suami
istri ya… Hal-hal beginian sepertinya kok enggak aneh. Justru kalau 100 persen
adem ayem itu yang aneh kali yak.. ada gitu yang adem ayem 100 persen?
Semua memang perlu proses kan yaaa…
Puji Tuhan hari-hari ini, rasanya sisi sabar saya lagi
sering menang. Walapun mungkin suami nggak melihat perbedaan signifikan, setidaknya saya merasa lebih bisa menahan diri. Biasanya, kalau ada ketidakcocokan, langsung ada dua tanduk
tumbuh di kepala. Tapi hari-hari ini, entah mengapa, setiap saya mulai bête sama
misua karena perilaku-nya (yang nggak cocok dengan keinginan saya), rasanya
selalu ada SUARA yang bilang :
“Eh ngapain kamu bête. Kau pun sering begitu pada-KU.”
“AKU bisa memaklumi kamu, memaafkan kamu. Kamu
pasti juga bisa, sayang…AKU akan bantu kamu”
AKU dalam huruf besar. Ya, seolah saya dan DIA
berdialog atas kegalauan saya. Saya percaya itu suara-NYA. Sebab, DIA yang
telah menyatukan kami dalam ikatan kudus. DIA yang memiliki rencana indah untuk
keluarga kami. DIA yang membawa saya pada pernikahan, untuk melatih kesabaran,
rendah hati, berjuang, dan bersyukur untuk hal-hal kecil.
Suara-NYA sangat menolong saya yang emosian. Walau
kadang saya mengabaikan suara-NYA dan lebih mendengarkan ego saya.
“Eh ngapain kamu bête. Kau pun serung begitu
pada-KU”
Perjalanan masih panjang. Mudah-mudahan kami selalu
mau dengar suara-NYA. Lima hari lagi BJ dan LSD 4th anniversary.
*saya selalu ingat kata yang memesona itu : SHMILY...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar