Sabtu, 29 Desember 2012

Buku di Tempat Kaum Nomad




Petang Sabtu (29/12) ini, ada insiden kecil di Rumah Halilintar (eh, tiba-tiba saja tercetus ide memakai nama ini untuk menyebut “rumah-kontrakan-kami-di-Siantar-ini”).  BJ terlalu keras ketika menutup kunci mobil sehingga semua pintu terkunci otomatis. Celakanya, kunci masih tergantung di starter! Jadilah, petang sampai malam ini BJ ribet mencari solusi. Salah satunya adalah membongkar-bongkar lemari/rak untuk mencari kunci cadangan. Nihil di sana, giliran tumpukan dus jadi sasaran pembongkaran. Kalau sudah begini, mau tak mau, saya juga ikut ribet toh. (Kalau nggak ikut ribet ya gimana, mau nggak  mau, sebagai “penumpang”, saya bakalan kena juga efek mobil terkunci itu :D).

Berhubung sudah kecapekan bongkar-bongkar, BJ mengembalikan posisi dus dengan sekedarnya. Akhirnya, saya lah yang harus merapikan. Giliran sebuah dus yang agak berat saya angkat, tiba-tiba alasnya jebol. Isinya mbrojol. Aiih… kalau buku-buku itu kena kepala, sangat mungkin bikin benjol.
Sesaat ada rasa gemas. Deuuh, tambahan pekerjaan yang mau nggak mau harus saya kerjakan. DI TENGAH MALAM!

Untuk sementara saya  biarkan buku-buku itu bertebaran di lantai. Sampai kemudian saya memungutinya, membuka-buka beberapa judul yang menarik, kemudian menumpuknya. Kebanyakan novel, tapi ada juga tema-tema lainnya.  

Splendid of Thousand Sun(Khaled Hosseini), novel dengan latar Afganistan di masa Taliban. Novel yang membuat saya bersyukur sebagai “perempuan Indonesia”

Rumah Bambu  (Romo Mangun), cerpen-cerpen  dengan gaya bahasa Romo Mangun yang  “khas” dan sering kocak. Saya suka almarhum Romo Mangun, pastor yang banyak “mengajar” saya tentang hidup dalam keanekaragaman. Bagaimana tetap menjadi seorang Kristiani yang santun di Indonesia yang multikultur dan multi agama.

Saman (Ayu Utami), salah satu novel favorit di masa-masa “banyak mikir”. 

Para Priyayi (Umar Kayam), kalau saja hidup di masa kerajaan, secara keturunan saya sudah pasti seorang jelata. Novel ini memberi perspektif tentang alam pikir para priyayi Jawa.

Dunia Sophie (Joostein Gaarder), yak..bertualang dengan Sophie.. banyak nggak ngerti, tapi asik.
Lipstik dalam Tas Doni (Ratna Indraswari Ibrahim), cerita Bu Ratna..cerita-cerita yang “perempuan bangeet.” 

Cara Menyampaikan Cerita Alkitab dengan Menarik, aku beli ketika masih ikut membantu Sekolah Minggu GKI Berastagi. 

Desain Rumah di Lahan 60-100 m2, , ini sebagai suatu “langkah iman”, di mana suatu saat kami akan mengakhiri status nomaden dengan membangun rumah sendiri.

Mendongeng Bersama Kak Agus, dulu ini salah satu buku persiapan untuk “being mom”, tapi ternyata sekarang ALE lebih duka didongengi YOUTUBe :D.

………………….dan masih beberapa buku lain.

Pada masanya, beberapa dari buku itu saya baca berulang-ulang. Ini memang salah satu kebiasaan saya, buku yang menarik bisa saya baca berulangkali. Maka tak aneh,  bila saya merasa bertemu “teman-teman lama”. Dan dengan sekilas membuka-buka halaman demi halaman, saya merasa mereka menyapa dengan “sedikit cerita”. Lazimnya ketemu teman lama yang baik, ada gembira yang mengalir. Ada energi yang memercik.

Yiaaa… mungkin ini salah satu sebab kejumudan saya dalam menulis. Dulu saya sering terpacu tiap melihat deretan buku di rak. Walau belum banyak buku, belum berderet-deret, hanya satu lemari kecil, tapi itu sudah cukup meletupkan semangat. Salah satu impian saya memang punya rak-rak buku di ruangan khusus, ruang kerja saya. Bukan di ruang tamu, karena saya tak ingin mengesankan “sok intelek”, sementara saya sendiri masih cetek hehehe.

Persoalannya : 

Kami masih termasuk kaum nomaden. Hehehe, memang ini peminjaman istilah yang lebay.  Intinya, kami masih “kontraktor”, belum tinggal di rumah sendiri untuk menetap. Sebagai “kaum nomaden”, kami terpaksa menunda banyak rencana pembelian perabot. Sayang uangnya. Karena kalau nanti pindah kota yang jauuuh (apalagi pindah pulau), perabot adalah barang yang paling potensial tidak bisa dibawa. Rak buku, jelas nggak masuk prioritas. Jangankan rak buku, untuk tidur saja, kami pilih langsung menghamparkan kasur di lantai. Beruntung Siantar daerah berhawa sedang – panas, sehingga kasur di lantai bukan masalah. Mungkin agak kurang sehat ya.. tapi untuk menyiasati, saya sering mengangin-anginkan kasur biar tak lembab.

Rumah kami  jadi “miskin perabot”.  Gara-gara itu, rumah juga terlihat berantakan. Hanya ada dua kamar dan tak ada ruangan gudang. Sehingga kami menggunakan sudut ruang tengah untuk menaruk tumpukan dus-dus. Ketika hendak membeli buffet pendek untuk mengganti rak tivi yang kecil beberapa waktu lalu, butuh waktu cukup lama untuk memutuskan. Terakhir, kami beli sofa untuk ditempatkan di ruang tamu yang tadinya hanya kami taruh karpet. Itu pun gara-gara ada teman yang pindah kerja dari Medan ke Jawa sehingga menggelar super sale untuk perabot-perabotnya.

Ihi, saya nggak sendirian. Berbagi cerita dengan para “nomaden”, rata-rata juga memilih untuk meminimalisasi perabot sebelum bisa menetap. Sekarang buku-buku itu masih numpuk di meja. Rasanya, sayang mau kembali memasukkan ke dalam dus. Tapi saya belum nemu alternatif, mau saya tempatkan di mana :)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar