Petang Sabtu (29/12) ini, ada insiden kecil di Rumah
Halilintar (eh, tiba-tiba saja tercetus ide memakai nama ini untuk menyebut “rumah-kontrakan-kami-di-Siantar-ini”). BJ terlalu keras ketika menutup kunci mobil
sehingga semua pintu terkunci otomatis. Celakanya, kunci masih tergantung di
starter! Jadilah, petang sampai malam ini BJ ribet mencari solusi. Salah
satunya adalah membongkar-bongkar lemari/rak untuk mencari kunci cadangan.
Nihil di sana, giliran tumpukan dus jadi sasaran pembongkaran. Kalau sudah
begini, mau tak mau, saya juga ikut ribet toh. (Kalau nggak ikut ribet ya
gimana, mau nggak mau, sebagai “penumpang”,
saya bakalan kena juga efek mobil terkunci itu :D).
Berhubung sudah kecapekan bongkar-bongkar, BJ mengembalikan
posisi dus dengan sekedarnya. Akhirnya, saya lah yang harus merapikan. Giliran
sebuah dus yang agak berat saya angkat, tiba-tiba alasnya jebol. Isinya
mbrojol. Aiih… kalau buku-buku itu kena kepala, sangat mungkin bikin benjol.
Sesaat ada rasa gemas. Deuuh, tambahan pekerjaan yang mau
nggak mau harus saya kerjakan. DI TENGAH MALAM!
Untuk sementara saya
biarkan buku-buku itu bertebaran di lantai. Sampai kemudian saya
memungutinya, membuka-buka beberapa judul yang menarik, kemudian menumpuknya.
Kebanyakan novel, tapi ada juga tema-tema lainnya.
Splendid of Thousand Sun(Khaled Hosseini), novel dengan
latar Afganistan di masa Taliban. Novel yang membuat saya bersyukur sebagai “perempuan
Indonesia”
Rumah Bambu (Romo
Mangun), cerpen-cerpen dengan gaya
bahasa Romo Mangun yang “khas” dan sering
kocak. Saya suka almarhum Romo Mangun, pastor yang banyak “mengajar” saya
tentang hidup dalam keanekaragaman. Bagaimana tetap menjadi seorang Kristiani
yang santun di Indonesia yang multikultur dan multi agama.
Saman (Ayu Utami), salah satu novel favorit di masa-masa “banyak
mikir”.
Para Priyayi (Umar Kayam), kalau saja hidup di masa
kerajaan, secara keturunan saya sudah pasti seorang jelata. Novel ini memberi
perspektif tentang alam pikir para priyayi Jawa.
Dunia Sophie (Joostein Gaarder), yak..bertualang dengan
Sophie.. banyak nggak ngerti, tapi asik.
Lipstik dalam Tas Doni (Ratna Indraswari Ibrahim), cerita Bu
Ratna..cerita-cerita yang “perempuan bangeet.”
Cara Menyampaikan Cerita Alkitab dengan Menarik, aku beli
ketika masih ikut membantu Sekolah Minggu GKI Berastagi.
Desain Rumah di Lahan 60-100 m2, , ini sebagai
suatu “langkah iman”, di mana suatu saat kami akan mengakhiri status nomaden
dengan membangun rumah sendiri.
Mendongeng Bersama Kak Agus, dulu ini salah satu buku
persiapan untuk “being mom”, tapi ternyata sekarang ALE lebih duka didongengi
YOUTUBe :D.
………………….dan masih beberapa buku lain.
Pada masanya, beberapa dari buku itu saya baca berulang-ulang.
Ini memang salah satu kebiasaan saya, buku yang menarik bisa saya baca
berulangkali. Maka tak aneh, bila saya
merasa bertemu “teman-teman lama”. Dan dengan sekilas membuka-buka halaman demi
halaman, saya merasa mereka menyapa dengan “sedikit cerita”. Lazimnya ketemu
teman lama yang baik, ada gembira yang mengalir. Ada energi yang memercik.
Yiaaa… mungkin ini salah satu sebab kejumudan saya dalam
menulis. Dulu saya sering terpacu tiap melihat deretan buku di rak. Walau belum
banyak buku, belum berderet-deret, hanya satu lemari kecil, tapi itu sudah
cukup meletupkan semangat. Salah satu impian saya memang punya rak-rak buku di
ruangan khusus, ruang kerja saya. Bukan di ruang tamu, karena saya tak ingin
mengesankan “sok intelek”, sementara saya sendiri masih cetek hehehe.
Persoalannya :
Kami masih termasuk kaum nomaden. Hehehe, memang ini
peminjaman istilah yang lebay. Intinya,
kami masih “kontraktor”, belum tinggal di rumah sendiri untuk menetap. Sebagai “kaum
nomaden”, kami terpaksa menunda banyak rencana pembelian perabot. Sayang
uangnya. Karena kalau nanti pindah kota yang jauuuh (apalagi pindah pulau),
perabot adalah barang yang paling potensial tidak bisa dibawa. Rak buku, jelas
nggak masuk prioritas. Jangankan rak buku, untuk tidur saja, kami pilih
langsung menghamparkan kasur di lantai. Beruntung Siantar daerah berhawa sedang
– panas, sehingga kasur di lantai bukan masalah. Mungkin agak kurang sehat ya..
tapi untuk menyiasati, saya sering mengangin-anginkan kasur biar tak lembab.
Rumah kami jadi “miskin
perabot”. Gara-gara itu, rumah juga
terlihat berantakan. Hanya ada dua kamar dan tak ada ruangan gudang. Sehingga
kami menggunakan sudut ruang tengah untuk menaruk tumpukan dus-dus. Ketika
hendak membeli buffet pendek untuk mengganti rak tivi yang kecil beberapa waktu
lalu, butuh waktu cukup lama untuk memutuskan. Terakhir, kami beli sofa untuk
ditempatkan di ruang tamu yang tadinya hanya kami taruh karpet. Itu pun
gara-gara ada teman yang pindah kerja dari Medan ke Jawa sehingga menggelar
super sale untuk perabot-perabotnya.
Ihi, saya nggak sendirian. Berbagi cerita dengan para “nomaden”,
rata-rata juga memilih untuk meminimalisasi perabot sebelum bisa menetap. Sekarang
buku-buku itu masih numpuk di meja. Rasanya, sayang mau kembali memasukkan ke dalam
dus. Tapi saya belum nemu alternatif, mau saya tempatkan di mana :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar