gambar dari : khalifatulhaq.blogspot.com |
Entah. Aku lupa
kapan pertama kali baca teori multiple intelegence alias kecerdasan majemuk.
Yang jelas, saat itu aku langsung terpesona. Sebab teori ini membuatku merasa
tak terlalu bodoh walau saat kuliah
mesti empat (atau malah lima) kali mengulang matematika. Itu pun berakhir
dengan sekedar nilai C kurus. Sudahlah yang penting lulus. Yang penting nggak
ada nilai D dalam transkrip nilai akhir.
Jiaaa, sejak
dulu aku memang lemah dalam matematika. Kalau masih matematika terapan sih, aku
masih bisa. Tapi kalau sudah masuk matematika murni nan teoritis .. alamaaaak.
Benciii. Sampai sekarang pun masih mikir, untuk apa aku belajar cos, sinus,
tangen? Apalagi dengan pekerjaan sekarang sebagai ibu rumah tangga hihihi…
Tapi bagaimana
lagih?
Yang terhormat
bapak/ibu pakar pendidikan penyusun kurikulum sudah membuat ketentuan. Waktu
itu, aku hanya pelajar/mahasiswa yang kurang kritis, juga nggak suka demo
hihihi.
Well… okelah,
hidup nggak seperti kaset yang bisa direwind (suka banget kalimat dari artikel
mbak Dini Shanti ini). Kalau saat itu aku jadi merasa bodoh gara-gara
matematika jeblog, merasa sedih gara-gara olahraga mentok…. ke depan,
mudah-mudahan anakku tidak begitu.
Karena sebagai ibu, aku akan bilang kalau
dia itu tetap istimewa meski nilai akademiknya tidak excellent. Karena kalaupun anakku
nggak sering rangking satu kayak ibunya dulu (mulai nih, membanggakan masa lalu
hihihi), dia tetap pinter di mataku. Justru salah satu tugasku sebagai ibu
adalah untuk menelisik, di bidang apa sih anakku pinter? >> catetttt ini
ya Lsd! (selftalk)
Ini nih
pentingnya ibu-ibu tau teori kecerdasan majemuk.
Jadi pengin
nulis ini gara-gara baca artikel di www.theurbanmama.com.
Semua anak… cerdas! Penulisnya, pake teori kecerdasan majemuk. Jadi, yang nggak setuju harus setuju.
(maksa!). Iyalah, kan dasar tulisannya pake teori kecerdasan majemuk. Kalau
yang nggak setuju karena pake dasar teori IQ yang menekankan kecerdasan IPA/matematik…
ya bakalan jadi debat kusir macam rapat yang terhormat dewan perwakilan rakyat
toh..
Well, semua
anak…cerdas. Tapi bagaimana dengan semua ibu?
Yang sudah
ibu-ibu, pernah nggak merasa bersalah sama anak?
Karena
nggak bisa kasih ASI eksklusif?
Karena
nggak bisa sering nemeni mereka gara-gara kerjaan yang hectic?
Karena
anak susah makan sehingga badannya kurus (padahal body ayahbundanya gede)?
Karena
salah kasih obat?
Karena
asik onlen sehingga anak jatuh…(piiih, dampak internet pada parenting hihihi)
Karena
sekian hal ….. yang intinya “nggak bisa kasih yang terbaik buat anak/keluarga.”
Ih, aku sering
loh. Sampai-sampai pernah terucap sama misua, “bisa nggak ya aku jadi ibu yang
baik?”
Ketika chat via
whatsapp sama beberapa temen sesama emak-emak, ternyata sama juga. Baca-baca
forum parenting, sami mawon. Bahkan, ada seorang temen yang salah satu motivasi
punya anak kedua adalah “supaya bisa menebus kekurangan-kekurangan yang terjadi
pada anak pertama.”
Mungkin karena
naluri menjadi ortu adalah “giving the best” ya…
Baik ibu rumah
tangga maupun ibu bekerja, aku rasa punya tekanan senada dalam hal “keinginan
untuk memberi yang terbaik.”
Ibu rumah
tangga, karena memang merasa profesinya adalah ibu rumah tangga, jadi penginnya
perfect dalam ngatur rumah dan anak. Karena menurut pandangan umum, dengan ibu
berada di rumah, harusnya rumah dan anak jadi lebih jadi lebih terurus. Bisa masak, bisa ngajarin anak, bisa antar
jemput anak, bisa menata rumah, bisa bla bla bla… supermom lah..
Ibu bekerja kantoran juga pengin jadi supermom. Bisa handle urusan kantor maupun rumah dengan
perfect! Istilah formalnya, menyelaraskan karir dengan keluarga.
Ibu bekerja di rumah juga usaha jadi supermom. Bisa manajemen waktu dengan bajussss (saking bagusnya) sehingga dapat duit banyak dari rumah sambil bisa tetap momong anak. (Pweeeeh, ini memang pergumulanku hehehe)
Mungkin kasus-kasus di atas nggak nyambung dengan teori kecerdasan majemuk. Tapi intinya adalah, tidak ada
manusia yang bisa oke dalam semua hal. Tak ada gading yang tak retak. Seorang
ibu mungkin oke dalam memasak, tapi mungkin kurang pandai dalam mengajari anak
belajar. Oke dalam bersosial, tapi mungkin harus belajar ekstra dalam mengatur
keuangan.
Karena keinginan untuk menjadi sempurna terkadang justru menekan. Romantisme tentang keagungan “peran
ibu” justru menjadi beban. Terlebih perempuan unggul dalam rasa daripada logika.
Aku mahfum ketika sebuah artikel menyatakan “perempuan lebih mudah depresi
daripada laki-laki.” Perasaan bersalah
itu mirip narkoba. Dalam dosis yang tepat, efeknya produktif. Namun jika
overdosis, justru kontraproduktif.
Ketika aku
merasa mulai overdosis rasa bersalah, aku menegaskan pada diriku, bahwa menjadi
ibu adalah proses. Setiap waktu bergumul dengan kekurangan-kekurangan. Tugas
kami sepertinya adalah memperbaiki apa yang bisa diperbaiki, dan belajar
menerima dengan ikhlas kekurangan yang sudah tetap.
*Special to BJ, yang membuatku pengin jadi ibu sehingga aku mesti belajar persoalan-persoalan seperti ini.
-------------------------------------------
anak-anak punya impian besar
tugas kita adalah membantu mewujudkannya
juga menjadi teladan dalam meraih impian-impian kita
ibu, inikah impianmu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar