gambar pinjam dari SINI |
Masih ada nggak sih acara Gula-Gula di TransTV?
(Atau Trans7?)
Acara masak yang dipandu chef Bara, yang setiap saya
lihat iklan acaranya (saya baru nonton acaranya sekali), selalu membuat saya
merasakan sensasi manisnya gula. Chef Bara, selaku empunya acara menyuarakan
kata “Gula-Gula” semanis mungkin. Jelas saja, agar calon pemirsa tertarik
melihat aksinya di layar kaca.
Gula memang manis. Siapa dapat menyangkal?
Saya juga suka minum teh dengan gula, kopi dengan
gula, masakan pun biasa saya “colok” dengan sedikit gula. Katanya, untuk
mempertegas rasa asin sehingga tercapai keseimbangan rasa.
Gula memang manis, dan rata-rata orang suka yang
manis-manis (termasuk juga lebih suka melihat wajah manis daripada yang enggak
manis kan?)
Tapi belakangan, gula mulai membuat masalah. Pertama,
ketika suami saya, BJ merasakan tanda-tanda gejala diabetes. Sering haus dan mudah capek.
Lalu, ketika tes kesehatan di Prodia, memang kadar gulanya sedikit di atas
ambang batas. BJ langsung membatasi konsumsi gula dan mencoba mengubah
kebiasaan makan. Mengubah kebiasaan, apalagi yang sudah bertahun-tahun memang
sulit. Setidaknya, BJ punya kesadaran
dan usaha agar gejala diabetnya tak berlanjut pada situasi yang lebih parah.
Kedua, anak lelaki kami, Ale (2,5 tahun) suka sekali
pada yang manis-manis. Cokelat, permen, bahkan gula pasir! Ketika di laman
facebook Ibu-Ibu Doyan Nulis ada kompetisi menulis dengan tema membatasi gula
pada anak (dengan sponsor sebuah produk susu tanpa gula tambahan), saya hanya
mencermati. Lha, saya belum berhasil mengatasi masalah gula pada Ale. Saya juga
tidak memberikan susu itu pada Ale.
Ale memang termasuk golongan anak yang susah makan.
Sejak MPASI (6 bulan), Ale sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda lahap makan.
Masa-masa MPASI hingga sebelum dia sapih, adalah masa di mana memberi makan
sangat butuh perjuangan. Dia lebih suka menyusu daripada makan. Tapi banyak
yang memberi nasihat, tak perlu terlalu galau, toh dia masih full ASI. Ale
sapih pada usia 2,2 tahun. Usai disapih, selera makan Ale memang lumayan. Walau
tak bisa dikatakan baik. Setidaknya dia sering mau makan, bahkan sesekali minta
makan.
Soal susu selain ASI, saya mulai mengenalkan Ale
pada susu UHT setelah usia setahun (di kemasan susu UHT tercantum aman untuk usia di atas setahun). Berhubung
hanya pengenalan dan juga masih ASI, konsumsi susu UHT-nya tak banyak. Satu
kotak isi satu liter habis dalam 2-4 hari (itu pun sembari saya minum). Jadi
ceritanya, kami minum susu yang sama. Kebetulan, saya memang suka susu UHT merk
UJ. Sengaja saya memberinya susu UHT yang plain (putih) agar dia tak terbiasa
dengan yang manis-manis.
Namun, pada suatu hari ketika kami pulang kampung, dia
jadi mengenal susu kental manis. Sejak saat itu dia lebih suka susu cokelat.
Tak mau lagi susu putih. Ketika belanja di swalayan, dia pasti lebih memilih
susu cokelat. Beberapa merk UHT cokelat yang sudah saya coba, terasa sangat
manis buat lidah saya. Akhirnya, untuk menyiasati, saya campur susu cokelat
dengan susu putih. Atau kadang susu cokelat dengan air putih. Setidaknya, susu
jadi tak terlalu manis.
Siasat soal susu, lumayan berhasil. Tapi masalah
permen, masih jauh dari kata berhasil. Tepat berseberangan dengan tempat
tinggal kami berada sebuah SD dan SMP swasta. Tetangga sebelah kami, membuka
warung kecil untuk jualan aneka jajanan, tentu saja ada aneka permen di sana.
Warung kecil itu juga tempat bermain anak-anak, di mana rata-rata juga suka
permen dan cokelat.
Jadi sangat susah melarang Ale untuk tidak makan
permen atau cokelat. Sebab, sudah tersedia di samping rumah. Plus ada banyak
anak-anak yang jajan permen maupun cokelat. Ohoho, saya nggak menyalahkan
posisi warungnya loh. Itu tempat orang mencari rezeki. Toh kakak yang empunya
warung pun bukannya tak mau bekerja sama. Setiap kali Ale minta beli permen
atau cokelat, pasti minta persetujuan saya, atau bahkan sebelumnya bilang nggak
boleh.
Memang saya yang kurang tegas. Soal ini, saya masih harus banyak belajar.