Tasya (tetangga sebelah, kelas 6 SD) sering menyebut dua kucing
putih belang coklat itu “kucing tante”. Dua kucing itu berwarna senada. Satu
induk, satu anak. Mungkin bapaknya juga putih belang coklat, sehingga anaknya
juga berwarna serupa. Kucing itu memang sering saya beri makan, dan selalu tampak
di seputar rumah tinggal kami. Tapi saya
tidak sepakat dengan sebutan Tasya.
Saya bilang sama Tasya, itu bukan “kucing
tante”, melainkan kucing-yang-tante-izinkan-hidup-di-seputar-rumah-tante.
“Tapi Tante kasih makan kucing itu,” Tasya berargumen.
“Iya, itu karena Tante baik hati saja sih,” jawab saya bikin
Tasya nyengir. Dia siiiih udah terbiasa dengan
ngeles-ala-saya :D.
Sebenarnya, masuk akal kalau Tasya menganggap itu “kucing
Tante”. Tak hanya karena si kucing itu tinggal di seputar rumah dan juga nyaris
rutin saya beri makan. Tapi karena “sejarah”
si kucing yang tak lepas dari belas-kasih-sayang sayah. Oiii,
belas-kasih-sayang atau sekedar nggak tegaan ya? Sepertinya lebih condong yang
kedua hehehe.
Berawal dari tahun lalu, sudah lamaaa, saya lupa kapan tepatnya (akhirnya ketemu tanggalnya setelah search fotonya di facebook : 30 Juli 2012!).
Seekor kucing yang tampak mengenaskan muncul di dekat rumah. Kepalanya terluka
tepat di antara dua telinga hingga menjalar ke mata. Mungkin seseorang telah
memukulnya dengan keras. Atau menyiramnya dengan air panas. Luka itu belum
kering sehingga tampak mengerikan. Bahkan Ale pun bisa bilang “tian” (kasihan)
melihat kondisi si kucing. Anak kecil itu memaksa saya mengobati si kucing.
Saya ingat, waktu itu, saya pakai botol clandistin Ale yang sudah kosong untuk
pura-pura mengobati di kucing. Jelas itu bukan obat yang tepat. Tapi, beberapa
hari kemudian, luka si kucing mengering. Tapi satu matanya mengatup, tak lagi
bisa terbuka. Dia menjadi kucing buta.
Kucing itu kadang tampak kadang tidak. Yang pasti, beberapa
bulan kemudian, si kucing tampak gendut. Semua emak-emak yang melihatnya
bilang, “hamil tuuh”. Ohooo..mungkin di
dunia perkucingan, kecantikan bukan kriteria penting untuk memilih pasangan.
Ada juga kucing jantan yang sudi menghamilinya.
Lalu si kucing melahirkan. Dia memilih tempat di semak bunga
depan rumah. Anaknya ada tiga ekor. Belum sempat si kucing memindahkan
anak-anaknya, hujan turun sangat deras. Rumpun semak tak mampu melindunginya.
Dalam hujan, si kucing memindahkan anak-anaknya. Saya nggak lihat prosesnya,
tau-tau ada tiga anak kucing yang masih sangat lemah berada di kolong mobil
yang belum dimasukkan garasi. Ihhh,
kasihan betul. Sore itu, saya berinisiatif mengumpulkan bayi-bayi kucing itu di
kain lap depan pintu. Lepas magrib, trio bayi kucing sudah raib. Beberapa hari
kemudian, si kucing tampak sendiri. Tak terdengar ada ngeong anak-anak kucing.
Mungkin ketiga-tiganya mati kena hypothermia :D.
Tak lama, si kucing tampak hamil lagi. Weittssss….ini
bener-bener kucing hybrid. Muka bopeng bukan soal untuk menggaet (atau digaet)
pasangan hehehe. Kali ini, si kucing melahirkan di gudang belakang, dekat kamar
mandi. Kembali ada tiga ekor kucing dengan belang serupa, putih-coklat. Aiiih,
walau kucing, kalau masih bayi, tetap saja tampak menggemaskan (lha wong bayi
tikus saja membuat saya iba).
Saya membiarkanya di gudang belakang hingga mereka
bisa berjalan. Begitu otot-otot kakinya kuat, saya menaruh kardus di sudut halaman
belakang dan menaunginya dengan payung. Itulah rumah mereka. Di luar, bukan di
dalam. Tiga kucing itu berkembang dengan baik. Tapi satu ekor diminta seorang
kawan (saya sih nggak merasa memiliki, jadi ketika teman ini minta, ya saya
langsung “silakan aja”). Satu lagi mati terlindas saat mobil keluar garasi. Tinggallah si
induk dengan seekor anak saja.
Kini si anak sudah makin besar, sepertinya juga sudah
dilepas oleh induknya (yang mungkin akan kawin lagi :D). Si kucing bahkan
sering tidur di gudang belakang, lalu tiap saya bangun, dia segera siaga di pintu
dapur, menanti diberi makan. Jika saya tak segera memberinya makan, dia akan
berguling-guling, dan mengeong dengan nada mendamba.
Aiiiih,…walaupun saya ingin memeluknya, tapi saya
melarang diri saya untuk menyukai kucing itu. Pun Ale, walau tertarik, tapi tak
saya izinkan memeluk-meluk si kucing dengan alasan kesehatan. Saya juga tak
ingin menganggapnya sebagai “kucing kami”. Karena merasa memiliki mengandung
konsekuensi “wajib memelihara” demi perikehewanan. Wajib ini yang bikin tidak
nyaman kalau kami pergi berhari-hari, entah itu untuk mudik, urusan kerja, atau
sekedar liburan.
Dulu, ketidaknyamanan itulah yang kami rasakan ketika kami
memelihara anjing. Pergi lalu mengabaikan makannya, rasanya kok tidak
bertanggung-jawab. Jadilah, dulu, kalau pergi lebih dari sehari, kami mesti
nitip si anjing pada uwak sebelah (ortu Tasya).
Memiliki hewan peliharaan memang membutuhkan komitmen dan
kesabaran. Harus ada kesediaan memberi makan, membersihkan lingkungan, juga
menghadapi ekses-ekses yang mungkin ditimbulkan. Pengalaman empat kali
memelihara anjing, selalu ada saja masalahnya. Anjing pertama lepas ketika baru
tiga hari dibawa ke rumah. Anjing kedua
mati karena sakit. Anjing ketiga, gemar sekali membawa aneka sampah ke halaman
rumah. Anjing keempat, jinak tapi kemudian kami harus mudik ketika dia sampai
usia kawin dan beranak. Kami memutuskan menjual anjing itu.
Dan sejauh ini, saya belum siap untuk memiliki hewan lagi. Tapi
saya masih bisa untuk “sekedar” mengizinkan mereka tinggal di luar dan memberinya makan.
----------------------------------------------------------------------------------------------
Pengin Bikin Akun Jejaring Sosialmu Menghasilkan Uang?
Join Oriflame via dBC Network yuuuk.
Klik ini: