Ungkapan “segede
Gaban”, pasti tak asing lagi ya… Saya sering menggunakannya untuk mengibaratkan
sesuatu yang besaaaar. Biasanya, lawan bicara sudah ngerti maksudnya kalau
saya pake istilah ini. Tapiii (ihihihi), sejujurnya saya apa/siapa sih Gaban
kok dipake untuk perumpaan ukuran yang besaaar? Baru penasaran gara-gara mau
bikin tulisan ini. Bersyukur ada google yaaaa… Jadi tahu tentang Gaban dari
tulisan INI (terima kasih untuk empunya blog).
Pengin
nulis ini gara-gara tulisan mbak Yulia Riani, kompor meledug yang nggak saya
kenal langsung, belum pernah saya temui, tapi api semangatnya mampu bikin saya
anget, bahkan panas hihihi.
Gengsinya
saya mah, lebih parah dari gengsi Mbak Yulia.
Saya gengsi
jualan. Banyak ibu-ibu sukses berjualan.
Emak saya bisa berkontribusi besar dalam ekonomi rumah tangga karena usaha
jualan. Setelah bapak dipanggil Tuhan, Emak bisa tetap mandiri ekonomi, nggak
pernah minta-minta jatah ke anak, karena usaha jualan.
Tapi apa dikata, saya
cukup lama terninabobo oleh status karyawan perusahaan besar dan gaji yang lebih
dari cukup (buat ukuran saya). Yups,
saya memang sudah melakukan terobosan dengan berani resign. Agar bisa tinggal
bersama suami memang alasan besarnya.
Tapi, sewaktu resign saya memang sudah berpikir untuk “bekerja dari rumah”.
Jadi
penulis lepas. Yak, itu cita-cita saya. Nggak berlebihan dong, secara tadinya
kerja jadi wartawan. Apa susahnya jadi penulis lepas? Ya to? Ya to? Harusnya
ini seumpama kerja jadi koki di restoran trus resign dan punya resto sendiri.
Gampaaang.
Jadi
penulis lepas kan nggak jualan. Nulis, kirim tulisan, tunggu lolos seleksi apa
enggak, terus kalau lolos seleksi dapat honor. Eh..waktu itu nggak mikir kalau
proses ini pada dasarnya juga : memproduksi > memasarkan > kalau laku
dapat uang. Saya berpikir “menulis adalah pekerjaan intelektual”. Sok intelek
gitu lohhh… Beda dong menulis ama jualan
yang “benar-benar pekerjaan ekonomial” (wew..ada gitu istilah
ekonomial?hijijiji).
Tapi
faktanya hari-hari itu saya justru terkungkung writer’s block yang parah.
Sangat tidak produktif menghasilkan
tulisan yang “jadi”. Walapun tiap hari berusaha menulis, tapi banyak
berakhir menjadi file yang “tak jadi.”
Saat itu sih berkutat dengan pertanyaan “WHY..WHY..WHY” tanpa ngerti sebabnya.
Sekarang sih sudah agak-agak bisa menduga “BECAUSE-nya”.
Salah
satunya yak arena GENGSI segede gaban ituuu…
Gengsi
kalau tulisan enggak bagus. Maka itu, setiap awal menulis sudah mematok target
tulisan harus keren. Malu dong, bekas wartawan kok tulisannya kacau. Akhirnya
malah nggak produktif… sediiih.
Tapi saya
nggak diem aja. Berani mencoba hal baru. Yak, memutuskan untuk membuang gengsi
dengan bekerja jualan. Tapi tetap gengsi nih kalau mesti jualan langsung. Nggak
BAKAT, saya beralasan. Jadi deh buka toko online. Kan keren toko online… tampak
melek teknologi (padahal aslinya gaptek xixix).
Jualan
cloth diaper, popok kain yang bisa nyerap ompol kayak pampers. Pilih produk ini
juga karena gengsi, gengsi dong kalau produk biasa-biasa saja. Nah, saat itu
clodi belum sebuanyaak sekarang (walau sudah banyak juga sih), trus ada embel-embel
kampanye go green. Keren kan?
Fiuuuuh…
Pas lagi
mulai jualan onlen, ditawari temen gabung dBCN. Apa seeeh dBCN? Oooh ternyata
yang iklannnya sering banget saya lihat kalo lagi onlen. Iklannya ada di mana-mana,
di berbagai web deh. Iklan dengan banner Mbak Nadia atau banner “Mama kerja di
rumah”. Persis seperti respon Mbak Yulia, nggak terpengaruh sama sekali dengan
iklan yang gonjreng-gonjreng itu. Bahkan, klik pun belum pernah.
Bukan
karena saya anti MLM, wong belum pernah punya pengalaman buruk dengan MLM. Tapi
itu tadiiii, saya nggak tertarik kerja jualan. Pas zamannya lulus kuliah dan
mulai kirim-kirim aplikasi, jenis pekerjaan marketing sudah sedari awaaal saya
coret dari alternatif. Carinya jelas perusahaan yang bonafid dong. Dan doa waktu itu terkabul..
Sampai
bagian ini jadi males baca kali ya…kekekeke.
Tapi cerita
tetap saya lanjutkan (kalau males kan tinggal close toh? Hihihihi). Gabung dBCN
karena embel-embel “bisnis onlen-nya”. Secara waktu itu mulai usaha toko onlen,
jadi pengin tauuuu, gimana sih “online marketing?” Terlebih yang ajak temen
sendiri, yang secara ekonomi juga tampak sudah kecukupan, pasti ada sesuatu
yang menarik di dBCN. Saya mengabaikan fakta bahwa “bisnisnya dBCN adalah
Oriflame” which is kosmetik sementara saya blassss blis blus ga suka dandan. Kumaha engke alias gimana nanti deh.
Ini salah satu sifat dasar saya : spontan dan kadang cenderung hantam kromo.
Lah, daftar “hanya” Rp 39.900. Kalaupun nggak dapat manfaat, toh hanya Rp
39.900… bakso paling empat mangkok (kalo harganya cemban .. banyak tuh bakso
yang harganya lebih mahal).
Jadi waktu itu tertariknya memang bukan karena "peluang penghasilan dan reward yang so high" itu. Lha wong sampai berbulan-bulan gabung MLM Oriflame, saya masih dilema antara "bersyukur dengan apa yang ada" dengan "keinginan menjadi kaya"... Dilema yang nanti terjawab.
Dan
ternyataaaa…. di sinilah saya digojlok abis-abisan. Kalau jadi karyawan,
mau kerja biasa-biasa juga tetap dapat gaji. Kalau nggak parah-parah amat,
nggak mungkin dipecat (kecuali perusahaan memang sedang program restrukturisasi
karyawan). Tapi kalau kerja sendiri : males-malesan, nggak kreatif, banyak
mengeluh, cepet menyerah >> ya sudah, wassalam.
Dulu tuh,
sampai beberapa bulan gabung Oriflame, saya masih gengsi show off pakai status-status di facebook. Bahkan, rasanya maluuu
kalau dimention sama upline terkait dengan bisnis ini. Saya maunya pakai inbox
atau SMS. Saya juga maunya pake blog, sampe bela-belain bikin blog berbayar yang
berbasis wordpress padahal sampai sekarang saya masih lebih nyaman pakai
blogspot. Emhh, waktu itu belum dapat training “FB marketing” siiih.. jadi
FB-nya masih sekedar buat eksis.
Saya juga
maluuuu nawarin katalog. Jadi yang saya lakukan ngasih atau nitip katalog, lalu
sudah. Nggak ada tuh rayuan pulo kelapa promosiin ini-itu produk baru atau yang
lagi diskon. Bersyukurnya, di lingkungan saya, Oriflame sudah punya nama.
Rata-rata sudah pada ngerti Oriflame dan suka kualitasnya.
Intinya itu
deh, gengsi dua hal itu. Gengsi yang bikin saya lambaaaat. Tapi masih beruntung
(orang kita kan memang selalu beruntung yaaa heheheh) dan bersyukur, karena
alih-alih balik badan, saya justru malah penasaran…penasaraan..dan penasaran.
Oke,
mungkin saya akan dianggap pantang menyerah. Tapi sebaliknya mungkin juga
disebut naïf dan sudah kena cuci otak. Ya apalah anggapan orang deh. Sekarang
saya nggak peduli lagi. Pohon dinilai dari buahnya kan… sebuah pohon bisa saja
rimbun, ruwet, mengerikan, banyak durinya… tapi kalau buahnya manis-sedap-lezat
tetap dicari tuuh.
Lunturnya
gengsi adalah salah satu buah manis yang sudah saya nikmati. Sekarang, gengsi
saya nggak lagi segede gaban. Memang “buah
ini” baru saya nikmati sendiri. Tapi nggak apa-apa, kalau saya terus bertumbuh,
nggak mustahil nanti buah-buahnya juga dinikmati orang lain.
Buat saya,
Oriflame dan dBCN memang tempat belajaaar mentaaal usaha dari NOL. Makanya, saya
nggak bertanya “WHY-WHY-WHY” kalau lihat dBCN-ers yang cepat sukses. Mbak Eka
Satriana sudah punya mental usaha yang oke sebelum gabung Oriflame. Mbak Yulia
Riani sudah kenyang yang namanya proses dari
trial and error bikin kue.
Bahkan, yang seperti ini pun, bukannya tak menghadapi tantangan ketika
bekerja sebagai member Oriflame.
Semua
memang perlu proses. Pasti banyak dBCN-ers atau bahkan Oriflamers yang bermimpi
karirnya bisa melesat cepat. Tapi mungkin sebagian lupa, bahwa semua butuh
proses dan cerita masing-masing orang adalah unik.
I’m on the way to make my own story.
Lisdha
Telp/SMS/WhatsApp 087892030743
Tidak ada komentar:
Posting Komentar