Kamis, 14 Februari 2013

Botot Itu, Kepelitan Itu..




gambar pinjam dari SINI

Yak, selayaknya tumpukan kertas dan aneka barang yang tak terpakai itu disebut sampah. Barang-barang yang menumpuk setelah saya dan suami membereskan “gudang” belakang. Gudang dengan tanda kutip karena hanyalah ruangan terbuka di sebelah kamar mandi yang kami pakai untuk menaruh berbagai perkakas, juga dus-dus berisi aneka kertas/buku/majalah. Karena letaknya di belakang, tempat ini tak pernah bebas dari tikus. Sudah kami coba aneka cara, tikus tetap ada. Tapi masih bersyukur, karena tikus hanya beroperasi di bagian belakang. Mereka tidak memperluas area operasi  ke dalam rumah.

Sampah itu, cukup lama menumpuk. Nggak seberapa banyak sih. Tapi waktu itu saya berpikir, kayaknya bisa juga nih dijual ke tukang botot (istilah lokal untuk menyebut barang-barang bekas tak terpakai). Ada kertas-kertas, majalah, koran, patahan gagang pintu besi, tripod kamera yang rusak, box plastik tempat kompor gas mini dan lain-lain. 

Lumayan, kalau laku 10-20 ribu, bisa untuk tambah belanja atau jajan Ale (alasan khas emak-emak). Toh, setiap hari, selalu ada tukang botot yang lewat depan rumah. Nggak cuma satu. Sehari bisa tiga sampai empat tukang botot lewat mengendarai sepeda motor mereka. Tapi entah mengapa, tiap kali ada tukang botot lewat, saya nggak juga  beraksi mengeluarkan tumpukan barang itu.

Sampai kemudian terpikir, kenapa sih enggak dikasih aja ke B (inisial nama). B adalah seorang tetangga kami. Seorang pemuda lajang, mungkin hanya beberapa tahun lebih muda dari saya.  Kata mamaknya yang seorang janda, B menderita suatu penyakit. Entah penyakit apa, yang jelas B tidak tampak senormal pemuda-pemuda seusianya. Mungkin gangguan psikis tingkat menengah yang membuat B harus rutin berobat ke sebuah rumah sakit jiwa di Medan. Suatu hari, emaknya pernah bilang ke saya, kalau bisa meminta dia lebih suka B meninggal lebih dulu daripada dia. Alasannya, “kalau aku mati lebih dulu, siapa yang mau merawat B?”. Deeeg, bagaimana kalian menilai alasan ini? *saat itu, saya trenyuh bener mendengar perkataan si emak. Antara, “hah kok begitu sih Pung”..(saya memanggilnya dengan sebutan opung) dengan “inikah kasih seorang ibu?

B suka minta rokok pada suami saya yang sampai saat ini belum bisa berhenti merokok :D. Tapi B tidak menakutkan. Dia sopan dan bersih. Dia suka menyapa lebih dulu. Dia juga mau berusaha bekerja. Pernah dia berjualan rokok dan aqua di persimpangan. Namun, belakangan sepertinya enggak lagi. Yang masih sering saya lihat, dia masih suka mencari botot untuk dikumpulkan kemudian dijual.

Kenapa sih, bototnya nggak dikasih B saja? Buat dia pasti sangat berharga.
Enggak ah. Sayang, 10-20 ribu lumayan. Bisa buat jajan Ale (alasan khas emak-emak).
Idiiih, 10 ribu emang bernilai. Tapi kamu nggak akan kekurangan dengan memberikan  botot itu pada B.
Ah enggak ah… mau kujual sendiri.

Hidiiih, heran deh, urusan botot aja bisa bikin saya perang batin :D. Dan saya sebel sama ego saya yang berusaha mempertahankan botot itu. Kenapa sih, ribet amat hanya untuk memberi botot yang kalau dijual saya taksir nilainya saya sebut di atas? Peliiit liit liiit. Padahal, kalau misal langsung kasih uang Rp 10 ribu rasanya justru nggak akan seperti ini… heran deeeh.

Tapi akhirnya debat itu dimenangkan oleh alter ego saya. Yuhuuuuu…horeee menaaang. Jadi, oke, saya memutuskan untuk memberikan botot itu ke B. Tapi hari demi hari, tiap si B lewat, saya kok ya enggak tergerak untuk memanggilnya. Hingga pagi kemarin, dia lewat dan dari teras saya memanggilnya, “Hai B, ambil botot di belakang yaaa…”

Ahhhh… pagi itu, rasanya ada beban yang terlepas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar