gambar pinjam dari SINI |
Yak, selayaknya tumpukan kertas dan aneka barang
yang tak terpakai itu disebut sampah. Barang-barang yang menumpuk setelah saya
dan suami membereskan “gudang” belakang. Gudang dengan tanda kutip karena
hanyalah ruangan terbuka di sebelah kamar mandi yang kami pakai untuk menaruh
berbagai perkakas, juga dus-dus berisi aneka kertas/buku/majalah. Karena
letaknya di belakang, tempat ini tak pernah bebas dari tikus. Sudah kami coba
aneka cara, tikus tetap ada. Tapi masih bersyukur, karena tikus hanya
beroperasi di bagian belakang. Mereka tidak memperluas area operasi ke dalam rumah.
Sampah itu, cukup lama menumpuk. Nggak seberapa
banyak sih. Tapi waktu itu saya berpikir, kayaknya bisa juga nih dijual ke
tukang botot (istilah lokal untuk
menyebut barang-barang bekas tak terpakai). Ada kertas-kertas, majalah, koran, patahan gagang pintu besi, tripod kamera yang rusak, box plastik tempat kompor gas mini dan lain-lain.
Lumayan, kalau laku 10-20 ribu, bisa untuk tambah belanja atau jajan
Ale (alasan khas emak-emak). Toh, setiap hari, selalu ada tukang botot yang lewat depan rumah. Nggak cuma satu.
Sehari bisa tiga sampai empat tukang botot lewat mengendarai sepeda motor
mereka. Tapi entah mengapa, tiap kali ada tukang botot lewat, saya nggak
juga beraksi mengeluarkan tumpukan
barang itu.
Sampai kemudian terpikir, kenapa sih enggak dikasih
aja ke B (inisial nama). B adalah seorang tetangga kami. Seorang pemuda
lajang, mungkin hanya beberapa tahun lebih muda dari saya. Kata mamaknya yang seorang janda, B menderita
suatu penyakit. Entah penyakit apa, yang jelas B tidak tampak senormal
pemuda-pemuda seusianya. Mungkin gangguan psikis tingkat menengah yang membuat B harus rutin berobat ke sebuah rumah sakit jiwa
di Medan. Suatu hari, emaknya pernah bilang ke saya, kalau bisa meminta dia
lebih suka B meninggal lebih dulu daripada dia. Alasannya, “kalau aku mati
lebih dulu, siapa yang mau merawat B?”. Deeeg, bagaimana kalian menilai alasan
ini? *saat itu, saya trenyuh bener mendengar perkataan si emak. Antara, “hah
kok begitu sih Pung”..(saya memanggilnya dengan sebutan opung) dengan “inikah
kasih seorang ibu?”
B suka minta rokok pada suami saya yang sampai saat
ini belum bisa berhenti merokok :D. Tapi B tidak menakutkan. Dia sopan dan
bersih. Dia suka menyapa lebih dulu. Dia juga mau berusaha bekerja. Pernah dia
berjualan rokok dan aqua di persimpangan. Namun, belakangan sepertinya enggak
lagi. Yang masih sering saya lihat, dia masih suka mencari botot untuk
dikumpulkan kemudian dijual.
Kenapa sih, bototnya nggak dikasih B saja? Buat dia pasti sangat berharga.
Enggak ah. Sayang, 10-20 ribu lumayan. Bisa buat
jajan Ale (alasan khas emak-emak).
Idiiih, 10 ribu emang bernilai. Tapi kamu nggak akan
kekurangan dengan memberikan botot itu
pada B.
Ah enggak ah… mau kujual sendiri.
Hidiiih, heran deh, urusan botot aja bisa bikin saya
perang batin :D. Dan saya sebel sama ego saya yang berusaha mempertahankan
botot itu. Kenapa sih, ribet amat hanya untuk memberi botot yang kalau dijual
saya taksir nilainya saya sebut di atas? Peliiit liit liiit. Padahal, kalau misal langsung
kasih uang Rp 10 ribu rasanya justru nggak akan seperti ini… heran deeeh.
Tapi akhirnya debat itu dimenangkan oleh alter ego
saya. Yuhuuuuu…horeee menaaang. Jadi, oke, saya memutuskan untuk memberikan botot itu ke B. Tapi
hari demi hari, tiap si B lewat, saya kok ya enggak tergerak untuk
memanggilnya. Hingga pagi kemarin, dia lewat dan dari teras saya memanggilnya, “Hai
B, ambil botot di belakang yaaa…”
Ahhhh… pagi itu, rasanya ada beban yang terlepas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar