pic source : http://dominicanewsonline.com |
Jam 5:50. Pagi sudah tak bergeliat. Apalagi kalau di InTim
(Indonesia Timur) ya.. kan di sana sudah jam 07:50. Tapi di sini, di
Inbar bagian barat (walau belum paling barat), jam segini masih gelap. Bj sudah
mruput ke Medan, sedangkan Ale masih
tidur nyenyak. Aku ke kamar mandi. Pintu
dapur tak kututup.
Dan terjadilah pencurian itu.
Keluar dari kamar mandi, dalam keremangan (karena lampu tak
kunyalakan) aku mendapati si Empus khusyuk di bawah kran air. Baru setelah
kulihat dengan seksama, ternyata kucing berwarna belang putih coklat itu tengah
menikmati sepotong ikan mas. Weitttts, tak salah, itu ikan mas dari dapurrrrrr.
Terbukti, piring wadah ikan-nya kosong.
Grrrrrhhhh,….
Sebetulnya enggak marah-marah banget sih. Karena memang itu ikan
mas kemarin dan kukeluarkan dari lemari karena tak akan kumakan lagi. Lagipula,
Empus cukup berjasa mengamankan bagian belakang rumah kami dari tikus. Juga
mungkin sudah “fitrahnya” kalau bangsa kucing suka mencuri. Karena bagi
mereka mungkin tak ada kata tetapi sekedar urusan makan. Walau sudah lama hidup
berdampingan dengan manusia, bukan berarti bangsa kucing sudah hidup dengan
norma manusia kan? Jadi kalau sudah tahu sering ada kucing, ya harus tertib
tutup pintu atau lemari makan.
Jadi memang aku enggak marah-marah banget sih. Aku hanya agak gemas karena ikan itu sedianya
buat Bleki, si anjing hitam kecil kami yang baru saja sembuh dari sakit.
Sebenarnya, tanpa mencuri pun, si Empus bisa saja mendapat
bagian. Karena Bleki rela-rela saja
berbagi makanan. Bleki, anjing yang baru tiga mingguan ini kami pelihara.
Sedangkan Empus sudah lebih duluan sering berkeliaran di halaman dan atap
belakang rumah.
Empus bukan peliharaan kami, mungkin dia kucing liar, atau entah
milik siapa. Memang, dari dulu aku sering sengaja menaruh sisa makanan dalam
sebuah piring plastik di halaman belakang. Karena pikirku, itu juga salah satu
cara untuk berbagi dengan sesama mahluk penghuni bumi. Aku memang tak suka
memelihara kucing, tapi hanya memberinya sisa makanan (itu pun kalau ada),
rasanya bukan hal yang sulit untuk kulakukan. Mungkin sisa-sisa makanan itulah
yang membuat kucing-kucing liar atau entah milik siapa itu menjadikan halaman
belakang kami sebagai daerah jelajahnya.
Kalau disuruh memelihara kucing atau anjing, aku memang
memilih anjing. Alasannya simpel, anjing bisa diatur untuk tidak masuk rumah.
Kalau sejak awal memang dilarang untuk masuk, anjing tak akan masuk. Walau
pintu terbuka, jarang sekali anjing menggunakan kesempatan. Anjing juga tak
suka bermanja-manja menempel-nempel ke kaki. Sepertinya, bulu-bulu anjing juga
tak segampang lepas seperti bulu kucing.
Tapi pilihan hewan untuk dipelihara memang soal preferensi. Toh,
anjing juga punya keburukan. Anjing kami
sebelumnya, Kiku, suka berkeliaran dan pulang membawa sampah. Halaman rumah
kami tak bisa bersih. Puncaknya, Kiku mengigit tas tetangga yang dijemur dan
malam-malam lupa dibawa masuk. Tas itu rusak total. Untung tetangga kami baik. Kiku
juga tak jinak. Entah mengapa, dia sangat menjaga jarak pada kami selaku
pemilik rumah. Dengan berat hati, kami
memutuskan menjual Kiku.
Sebab itu, ketika mengambil Bleki, kami memutuskan untuk tidak
membiar dia bebas. Kami berencana memagar jalan samping rumah sehingga
pergerakan Bleki terbatas di halaman belakang, toh cukup luas. Jalan samping
rumah kurang lebih hanya 1,5 meter. Pagar bambu pun cukuplah. Sebelum pagar itu
dibuat, Bleki kami rantai dengan sesekali saja dilepas.
Keberadaan si Bleki tak membuat Empus mencoret halaman belakang
kami dari daftar teritorialnya. Mungkin Bleki tak punya tampang garang, atau
bahkan tampak butuh teman. Akhirnya, dua
hewan beda spesies ini malah membentuk relasi yang mengingkari peribahasa
“bagaikan kucing dengan anjing.” Tak pernah kulihat keduanya saling mendengking
bermusuhan. Yang ada, keduanya justru sering bergumul bermain bareng, makan
bareng, bahkan tidur bareng.
Sampai aku berpikir, hewan yang sering dibilang
selalu bermusuhan saja bisa rukun…. Tapi manusia malah bisa membawa
permusuhannya sampai mati. Memaafkan dan mengampuni? Oh No Way!
Kalau saja aku memiliki kemampuan memahami bahasa hewan seperti
Nabi Sulaiman atau Dr Dolittle, aku akan bertanya mengapa mereka bisa hidup
damai berdampingan dalam perbedaan.
--------------------------------------
Bunda Astri - Jogjakarta |
pengen seperti Bunda Astri? Klik Gambarnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar