Senin, 29 Oktober 2012

Pencurian Pagi Ini

pic source : http://dominicanewsonline.com



Jam 5:50. Pagi sudah tak bergeliat. Apalagi kalau di InTim (Indonesia Timur) ya.. kan di sana sudah jam 07:50. Tapi di sini, di Inbar bagian barat (walau belum paling barat), jam segini masih gelap. Bj sudah mruput ke Medan, sedangkan Ale masih tidur nyenyak. Aku  ke kamar mandi. Pintu dapur tak kututup.

Dan terjadilah pencurian itu.

Keluar dari kamar mandi, dalam keremangan (karena lampu tak kunyalakan) aku mendapati si Empus khusyuk di bawah kran air. Baru setelah kulihat dengan seksama, ternyata kucing berwarna belang putih coklat itu tengah menikmati sepotong ikan mas. Weitttts, tak salah, itu ikan mas dari dapurrrrrr. Terbukti, piring wadah ikan-nya kosong.

Grrrrrhhhh,….

Sebetulnya enggak marah-marah banget sih. Karena memang itu ikan mas kemarin dan kukeluarkan dari lemari karena tak akan kumakan lagi. Lagipula, Empus cukup berjasa mengamankan bagian belakang rumah kami dari tikus. Juga mungkin sudah “fitrahnya” kalau bangsa kucing suka mencuri. Karena bagi mereka mungkin tak ada kata tetapi sekedar urusan makan. Walau sudah lama hidup berdampingan dengan manusia, bukan berarti bangsa kucing sudah hidup dengan norma manusia kan? Jadi kalau sudah tahu sering ada kucing, ya harus tertib tutup pintu atau lemari makan.

Jadi memang aku enggak marah-marah banget sih.  Aku hanya agak gemas karena ikan itu sedianya buat Bleki, si anjing hitam kecil kami yang baru saja sembuh dari sakit.

Sebenarnya, tanpa mencuri pun, si Empus bisa saja mendapat bagian.  Karena Bleki rela-rela saja berbagi makanan. Bleki, anjing yang baru tiga mingguan ini kami pelihara. Sedangkan Empus sudah lebih duluan sering berkeliaran di halaman dan atap belakang rumah. 

Empus bukan peliharaan kami, mungkin dia kucing liar, atau entah milik siapa. Memang, dari dulu aku sering sengaja menaruh sisa makanan dalam sebuah piring plastik di halaman belakang. Karena pikirku, itu juga salah satu cara untuk berbagi dengan sesama mahluk penghuni bumi. Aku memang tak suka memelihara kucing, tapi hanya memberinya sisa makanan (itu pun kalau ada), rasanya bukan hal yang sulit untuk kulakukan. Mungkin sisa-sisa makanan itulah yang membuat kucing-kucing liar atau entah milik siapa itu menjadikan halaman belakang kami sebagai daerah jelajahnya.

Kalau disuruh memelihara kucing atau anjing, aku memang memilih anjing. Alasannya simpel, anjing bisa diatur untuk tidak masuk rumah. Kalau sejak awal memang dilarang untuk masuk, anjing tak akan masuk. Walau pintu terbuka, jarang sekali anjing menggunakan kesempatan. Anjing juga tak suka bermanja-manja menempel-nempel ke kaki. Sepertinya, bulu-bulu anjing juga tak segampang lepas seperti bulu kucing.

Tapi pilihan hewan untuk dipelihara memang soal preferensi. Toh,  anjing juga punya keburukan. Anjing kami sebelumnya, Kiku, suka berkeliaran dan pulang membawa sampah. Halaman rumah kami tak bisa bersih. Puncaknya, Kiku mengigit tas tetangga yang dijemur dan malam-malam lupa dibawa masuk. Tas itu rusak total. Untung tetangga kami baik. Kiku juga tak jinak. Entah mengapa, dia sangat menjaga jarak pada kami selaku pemilik rumah.  Dengan berat hati, kami memutuskan menjual Kiku.

Sebab itu, ketika mengambil Bleki, kami memutuskan untuk tidak membiar dia bebas. Kami berencana memagar jalan samping rumah sehingga pergerakan Bleki terbatas di halaman belakang, toh cukup luas. Jalan samping rumah kurang lebih hanya 1,5 meter. Pagar bambu pun cukuplah. Sebelum pagar itu dibuat, Bleki kami rantai dengan sesekali saja dilepas.

Keberadaan si Bleki tak membuat Empus mencoret halaman belakang kami dari daftar teritorialnya. Mungkin Bleki tak punya tampang garang, atau bahkan tampak butuh teman.  Akhirnya, dua hewan beda spesies ini malah membentuk relasi yang mengingkari peribahasa “bagaikan kucing dengan anjing.” Tak pernah kulihat keduanya saling mendengking bermusuhan. Yang ada, keduanya justru sering bergumul bermain bareng, makan bareng, bahkan tidur bareng. 

Sampai aku berpikir, hewan yang sering dibilang selalu bermusuhan saja bisa rukun…. Tapi manusia malah bisa membawa permusuhannya sampai mati. Memaafkan dan mengampuni? Oh No Way!

Kalau saja aku memiliki kemampuan memahami bahasa hewan seperti Nabi Sulaiman atau Dr Dolittle, aku akan bertanya mengapa mereka bisa hidup damai berdampingan dalam perbedaan.

--------------------------------------
Bunda Astri - Jogjakarta

pengen seperti Bunda Astri? Klik Gambarnya!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar