Senin, 29 Oktober 2012

Jakerdaaaaa…..

pic source : http://tyudkartun.blogspot.com/2011/09/monas-jakarta.html




Jakerdaa… Lupa, kapan pertama kali ketemu nama ini. Entah plesetan atau memang ada histori dalam menyebut Jakarta menjadi Jakerda, aku suka saja menggunakannya. Jadi pengin bikin tulisan dengan judul Jakerda gara-gara Jokowi. Ihirrr, ternyata daku termasuk kumpulan orang-orang yang terjangkit virus Jokowi. 

Jelas saja, aku nggak milih Jokowi saat pilgub lalu karena aku bukan penduduk Jakarta. Tapi virus Jokowi kan nggak hanya menyebar di Jakarta, tapi bahkan sampai berbagai belahan dunia kan? Virus Jokowi menerpaku dalam bentuk suka baca berita tentang aktifitas Jokowi di media onlen. Tapi, sebenarnya yang seru itu bukan baca beritanya, tapi komentar-komentarnya.  Banyak yang memuja, banyak juga yang skeptis, apatis, bahkan pesimis. Tapi secara umum, komentar-komentar dalam berita tentang Jokowi kebanyakan bernada dukungan. Bahkan, kalau ada komentator yang pesimis atau kontra, langsung deh dihinadina oleh para pendukung Jokowi. 

Yang bikin unik, jarang-jarang ada berita tentang pejabat dan komentarnya kebanyakan positif. Di  dunia maya, pejabat umumnya jadi sasaran caci-maki.

Buatku sih, di dunia ini nggak bakalan ada pemimpin yang sempurna, yang ideal, yang bisa memuaskan keinginan semua kepala. Tapi mudah-mudahan kali ini harapan anak-anak bangsa tak meleset.  Karena sepertinya, Pak SBY dulu juga menang karena faktor figur, tapi belakangan dicaci-maki jugak. Aku mendoakan saja dari Siantar supaya dengan duet Jokowi-Ahok, Jakerda bisa lebih bagus… dan nyaman.

Karena aku memang salah seorang yang “sangat – tidak – ingin – tinggal – di – Jakarta.”  Banyak orang berbondong-bondong ngurban ke Jakarta, tapi aku tak termasuk golongan tersebut. Sebab itu, legaaaa banget ketika diterima kerja dulu penempatannya di Bandung.

Banyak orang bilang, kalau banyak uang memang nyaman tinggal di Jakarta. Mungkin ada benarnya, karena uang bisa membeli banyak hal, termasuk kenyamanan tinggal di Jakarta. Walaupun semua mungkin sepakat kalau kenyamanan tidak sama dengan kebahagiaan. Toh, definisi bahagia tidak seragam …

Ketidakinginanku tinggal di Jakarta mungkin sangat dipengaruhi pengalamanku semasa sekolah di Stemba Temanggung. Tahun 1998, kami harus ikut program Praktik Kerja Lapangan sebagai bagian dari Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Aku dan seorang teman mendapat tempat di sebuah perusahaan teh botol di  Jalan Jakarta – Bogor (lupa tepatnya di mana). Sebelum mendapatkan tempat kost, aku menumpang di kontrakan kakak teman praktikku di daerah UKI (Univ Kristen Indonesia).

Setiap pagi, aku berangkat dari halte dekat UKI naik metro mini atau bus Mayasari Bhakti ke Pasar Rebo, lalu lanjut bus lain ke pabrik. Suatu hari, kami berdua pulang menuju UKI menggunakan bus Mayasari Bhakti. Kami dua cewek lugu-lugu dengan seragam berlabel sekolah nun di Jawa Tengah sana. Segerombolan anak laki-laki yang juga bersegaram putih abu-abu mendekati bangku kami. Iseng-iseng tanya ini-itu layaknya remaja (dan tentu saja dengan gaya ibu-kotanya). Widih, sudah nggak nyaman banget tuh karena walaupun mereka tak begitu banyak dan wajah-wajah mereka pun bersahabat, tapi kami seperti dikepung.  Lalu, sepertinya ada teriakan. Tiba-tiba cowok-cowok itu bubar, menghambur turun bus, lalu tawuran. Entah bagaimana cerita selanjutnya, karena bis lanjut membawa kami ke tujuan..

Phuuuuh.. kejadian itu, bagaimanapun membekas banget di ingatanku dan menjadi salah satu alasan untuk tak tinggal di Jakarta.  Alasan yang rada sok hero sih,.. janganlah aku menambah-nambahi beban Jakarta plus ketimpangan nasional. Orang-orang potensial pada ke Jakerda sehingga riuh rendah di sana. Lalu daerah-daerah dapat apa?

Dulu sewaktu masih kerja, aku mikir, wah jangan-jangan suatu saat bakalan dapat tugas di Jakarta. Tapi itu tak sampai terjadi karena aku resign supaya bisa tinggal bersama suami dan tinggalah sekarang di Sumatera Utara ini. Tapi aku tanya BJ, kalau dia terus dengan pekerjaannya yang sekarang, apakah ada kemungkinan pindah ke Jakarta? Jawabnya, kemungkinan sekecil apapun selalu ada.

Ah ya, bulan-bulan ini seorang temanku juga sedang dalam proses pindah tinggal di Jakerda. Dia juga nggak suka Jakerda, tapi bagaimana lagi karena suaminya (mantan teman kerjaku dulu) dipindah ke Jakarta. Istri sepupuku yang asli Magelang justru merasa sudah lekat dengan kehidupan Jakarta dan katanya tak bisa lagi tinggal di tempat dengan ritme hidup seperti di Magelang atau Temanggung.

Hingga usia kepala tiga ini, aku sudah melalui (relatif) banyak perubahan, termasuk perubahan yang 180 derajat. Entahlah, mungkin suatu saat bisa saja aku berubah MAU atau BAHKAN ingin tinggal di Jakarta. Kalaupun itu terjadi, mudah-mudahan keramahan Jakarta sudah tak terlalu mahal didapatkan.(LSD)

----------------------------------------------------

 Nyiapin pensiun gak melulu dengan menabung,
tapi dengan bisnis sampingan. Klik Gambar yaaa...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar