pic source : http://tyudkartun.blogspot.com/2011/09/monas-jakarta.html |
Jakerdaa… Lupa, kapan pertama kali ketemu nama ini. Entah
plesetan atau memang ada histori dalam menyebut Jakarta menjadi Jakerda, aku
suka saja menggunakannya. Jadi pengin bikin tulisan dengan judul Jakerda
gara-gara Jokowi. Ihirrr, ternyata daku termasuk kumpulan orang-orang yang
terjangkit virus Jokowi.
Jelas saja, aku nggak milih Jokowi saat pilgub lalu karena aku
bukan penduduk Jakarta. Tapi virus Jokowi kan nggak hanya menyebar di Jakarta,
tapi bahkan sampai berbagai belahan dunia kan? Virus Jokowi menerpaku dalam
bentuk suka baca berita tentang aktifitas Jokowi di media onlen. Tapi,
sebenarnya yang seru itu bukan baca beritanya, tapi komentar-komentarnya. Banyak yang memuja, banyak juga yang skeptis,
apatis, bahkan pesimis. Tapi secara umum, komentar-komentar dalam berita
tentang Jokowi kebanyakan bernada dukungan. Bahkan, kalau ada komentator yang pesimis atau kontra, langsung deh dihinadina oleh para
pendukung Jokowi.
Yang bikin unik, jarang-jarang ada berita tentang pejabat dan
komentarnya kebanyakan positif. Di dunia
maya, pejabat umumnya jadi sasaran caci-maki.
Buatku sih, di dunia ini nggak bakalan ada pemimpin yang
sempurna, yang ideal, yang bisa memuaskan keinginan semua kepala. Tapi mudah-mudahan kali ini harapan anak-anak
bangsa tak meleset. Karena sepertinya,
Pak SBY dulu juga menang karena faktor figur, tapi belakangan dicaci-maki
jugak. Aku mendoakan saja dari Siantar supaya dengan duet Jokowi-Ahok, Jakerda
bisa lebih bagus… dan nyaman.
Karena aku memang salah seorang yang “sangat – tidak – ingin –
tinggal – di – Jakarta.” Banyak orang
berbondong-bondong ngurban ke Jakarta, tapi aku tak termasuk golongan tersebut.
Sebab itu, legaaaa banget ketika diterima kerja dulu penempatannya di Bandung.
Banyak orang bilang, kalau banyak uang memang nyaman tinggal di
Jakarta. Mungkin ada benarnya, karena uang bisa membeli banyak hal, termasuk
kenyamanan tinggal di Jakarta. Walaupun semua mungkin sepakat kalau kenyamanan
tidak sama dengan kebahagiaan. Toh, definisi bahagia tidak seragam …
Ketidakinginanku tinggal di Jakarta mungkin sangat dipengaruhi
pengalamanku semasa sekolah di Stemba Temanggung. Tahun 1998, kami harus ikut program
Praktik Kerja Lapangan sebagai bagian dari Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Aku dan
seorang teman mendapat tempat di sebuah perusahaan teh botol di Jalan Jakarta – Bogor (lupa tepatnya di
mana). Sebelum mendapatkan tempat kost, aku menumpang di kontrakan kakak teman
praktikku di daerah UKI (Univ Kristen Indonesia).
Setiap pagi, aku berangkat dari halte dekat UKI naik metro mini
atau bus Mayasari Bhakti ke Pasar Rebo, lalu lanjut bus lain ke pabrik. Suatu
hari, kami berdua pulang menuju UKI menggunakan bus Mayasari Bhakti. Kami dua
cewek lugu-lugu dengan seragam berlabel sekolah nun di Jawa Tengah sana.
Segerombolan anak laki-laki yang juga bersegaram putih abu-abu mendekati bangku
kami. Iseng-iseng tanya ini-itu layaknya remaja (dan tentu saja dengan gaya ibu-kotanya).
Widih, sudah nggak nyaman banget tuh karena walaupun mereka tak begitu banyak
dan wajah-wajah mereka pun bersahabat, tapi kami seperti dikepung. Lalu, sepertinya ada teriakan. Tiba-tiba
cowok-cowok itu bubar, menghambur turun bus, lalu tawuran. Entah bagaimana
cerita selanjutnya, karena bis lanjut membawa kami ke tujuan..
Phuuuuh.. kejadian itu, bagaimanapun membekas banget di
ingatanku dan menjadi salah satu alasan untuk tak tinggal di Jakarta. Alasan yang rada sok hero sih,.. janganlah
aku menambah-nambahi beban Jakarta plus ketimpangan nasional. Orang-orang
potensial pada ke Jakerda sehingga riuh rendah di sana. Lalu daerah-daerah
dapat apa?
Dulu sewaktu masih kerja, aku mikir, wah jangan-jangan suatu saat
bakalan dapat tugas di Jakarta. Tapi itu tak sampai terjadi karena aku resign
supaya bisa tinggal bersama suami dan tinggalah sekarang di Sumatera Utara ini. Tapi aku tanya BJ, kalau dia terus
dengan pekerjaannya yang sekarang, apakah ada kemungkinan pindah ke Jakarta?
Jawabnya, kemungkinan sekecil apapun selalu ada.
Ah ya, bulan-bulan ini seorang temanku juga sedang dalam proses
pindah tinggal di Jakerda. Dia juga nggak suka Jakerda, tapi bagaimana lagi
karena suaminya (mantan teman kerjaku dulu) dipindah ke Jakarta. Istri sepupuku
yang asli Magelang justru merasa sudah lekat dengan kehidupan Jakarta dan katanya
tak bisa lagi tinggal di tempat dengan ritme hidup seperti di Magelang atau
Temanggung.
Hingga usia kepala tiga ini, aku sudah melalui (relatif) banyak perubahan,
termasuk perubahan yang 180 derajat. Entahlah, mungkin suatu saat bisa saja aku
berubah MAU atau BAHKAN ingin tinggal di Jakarta. Kalaupun itu terjadi, mudah-mudahan
keramahan Jakarta sudah tak terlalu mahal didapatkan.(LSD)
----------------------------------------------------
Nyiapin pensiun gak melulu dengan menabung,
tapi dengan bisnis sampingan. Klik Gambar yaaa...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar