Belajar mencukupkan diri memang sesuatu yang
menantang. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kegagalan “mencukupkan
diri” bisa menuju dua arah. Pertama, selalu merasa tidak cukup, segala-gala
yang dimiliki terasa kurang. Kedua, menjadi fatalis, “sudahlah memang inilah
bagianku”, lalu tak mau berusaha lebih.
Saya menelisik diri sendiri, ketika sedang hampa, saya
cenderung merasa segala sesuatu yang ada pada saya terasa kurang. Terasa tak
cukup.
Uniknya, ketika saya dekat Tuhan, dengan situasi yang
sama persis, segala sesuatu tak hanya terasa cukup, tapi bahkan berkelimpahan.
Dalam sebuah perbandingan yang hitam putih : seseorang
bisa merasa cukup dan tentram hanya dengan makanan minuman yang ada pada hari
itu. Sementara seorang lain, masih belum merasa cukup walau hidup dikelilingi
aneka kekayaan. Memang ini perbandingan yang biblikal ya.. hitam putih.. klise. Tapi klise tak berarti salah kan?
Saya sepakat dengan sebuah kesimpulan bahwa cukup itu relatif.
Cukup tak tergantung pada seberapa besar kepemilikan kita. Tapi pada seberapa
besar hati kita.
Saya berdoa agar diberi karunia rasa cukup yang tak fatalis. Sebaliknya rasa cukup yang memberi energi untuk berbuat
lebih.
Semangat pagi :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar