Rabu, 30 Januari 2013

Gula Gula


gambar pinjam dari SINI


Masih ada nggak sih acara Gula-Gula di TransTV? (Atau Trans7?)

Acara masak yang dipandu chef Bara, yang setiap saya lihat iklan acaranya (saya baru nonton acaranya sekali), selalu membuat saya merasakan sensasi manisnya gula. Chef Bara, selaku empunya acara menyuarakan kata “Gula-Gula” semanis mungkin. Jelas saja, agar calon pemirsa tertarik melihat aksinya di layar kaca.

Gula memang manis. Siapa dapat menyangkal?

Saya juga suka minum teh dengan gula, kopi dengan gula, masakan pun biasa saya “colok” dengan sedikit gula. Katanya, untuk mempertegas rasa asin sehingga tercapai keseimbangan rasa.

Gula memang manis, dan rata-rata orang suka yang manis-manis (termasuk juga lebih suka melihat wajah manis daripada yang enggak manis kan?)

Tapi belakangan, gula mulai membuat masalah. Pertama, ketika suami saya, BJ merasakan tanda-tanda gejala diabetes. Sering haus dan mudah capek. Lalu, ketika tes kesehatan di Prodia, memang kadar gulanya sedikit di atas ambang batas. BJ langsung membatasi konsumsi gula dan mencoba mengubah kebiasaan makan. Mengubah kebiasaan, apalagi yang sudah bertahun-tahun memang sulit.  Setidaknya, BJ punya kesadaran dan usaha agar gejala diabetnya tak berlanjut pada situasi yang lebih parah.

Kedua, anak lelaki kami, Ale (2,5 tahun) suka sekali pada yang manis-manis. Cokelat, permen, bahkan gula pasir! Ketika di laman facebook Ibu-Ibu Doyan Nulis ada kompetisi menulis dengan tema membatasi gula pada anak (dengan sponsor sebuah produk susu tanpa gula tambahan), saya hanya mencermati. Lha, saya belum berhasil mengatasi masalah gula pada Ale. Saya juga tidak memberikan susu itu pada Ale.

Ale memang termasuk golongan anak yang susah makan. Sejak MPASI (6 bulan), Ale sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda lahap makan. Masa-masa MPASI hingga sebelum dia sapih, adalah masa di mana memberi makan sangat butuh perjuangan. Dia lebih suka menyusu daripada makan. Tapi banyak yang memberi nasihat, tak perlu terlalu galau, toh dia masih full ASI. Ale sapih pada usia 2,2 tahun. Usai disapih, selera makan Ale memang lumayan. Walau tak bisa dikatakan baik. Setidaknya dia sering mau makan, bahkan sesekali minta makan.  

Soal susu selain ASI, saya mulai mengenalkan Ale pada susu UHT setelah usia setahun (di kemasan susu UHT tercantum  aman untuk usia di atas setahun). Berhubung hanya pengenalan dan juga masih ASI, konsumsi susu UHT-nya tak banyak. Satu kotak isi satu liter habis dalam 2-4 hari (itu pun sembari saya minum). Jadi ceritanya, kami minum susu yang sama. Kebetulan, saya memang suka susu UHT merk UJ. Sengaja saya memberinya susu UHT yang plain (putih) agar dia tak terbiasa dengan yang manis-manis.

Namun, pada suatu hari ketika kami pulang kampung, dia jadi mengenal susu kental manis. Sejak saat itu dia lebih suka susu cokelat. Tak mau lagi susu putih. Ketika belanja di swalayan, dia pasti lebih memilih susu cokelat. Beberapa merk UHT cokelat yang sudah saya coba, terasa sangat manis buat lidah saya. Akhirnya, untuk menyiasati, saya campur susu cokelat dengan susu putih. Atau kadang susu cokelat dengan air putih. Setidaknya, susu jadi tak terlalu manis.

Siasat soal susu, lumayan berhasil. Tapi masalah permen, masih jauh dari kata berhasil. Tepat berseberangan dengan tempat tinggal kami berada sebuah SD dan SMP swasta. Tetangga sebelah kami, membuka warung kecil untuk jualan aneka jajanan, tentu saja ada aneka permen di sana. Warung kecil itu juga tempat bermain anak-anak, di mana rata-rata juga suka permen dan cokelat.

Jadi sangat susah melarang Ale untuk tidak makan permen atau cokelat. Sebab, sudah tersedia di samping rumah. Plus ada banyak anak-anak yang jajan permen maupun cokelat. Ohoho, saya nggak menyalahkan posisi warungnya loh. Itu tempat orang mencari rezeki. Toh kakak yang empunya warung pun bukannya tak mau bekerja sama. Setiap kali Ale minta beli permen atau cokelat, pasti minta persetujuan saya, atau bahkan sebelumnya bilang nggak boleh. 

Memang saya yang kurang tegas. Soal ini, saya masih harus banyak belajar.

Selasa, 29 Januari 2013

Cukup Itu Relatif




Belajar mencukupkan diri memang sesuatu yang menantang. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kegagalan “mencukupkan diri” bisa menuju dua arah. Pertama, selalu merasa tidak cukup, segala-gala yang dimiliki terasa kurang. Kedua, menjadi fatalis, “sudahlah memang inilah bagianku”, lalu tak mau berusaha lebih.

Saya menelisik diri sendiri, ketika sedang hampa, saya cenderung merasa segala sesuatu yang ada pada saya terasa kurang. Terasa tak cukup.

Uniknya, ketika saya dekat Tuhan, dengan situasi yang sama persis, segala sesuatu tak hanya terasa cukup, tapi bahkan berkelimpahan.

Dalam sebuah perbandingan yang hitam putih : seseorang bisa merasa cukup dan tentram hanya dengan makanan minuman yang ada pada hari itu. Sementara seorang lain, masih belum merasa cukup walau hidup dikelilingi aneka kekayaan. Memang ini perbandingan yang biblikal ya.. hitam putih.. klise. Tapi klise tak berarti salah kan?

Saya sepakat dengan sebuah kesimpulan bahwa cukup itu relatif. Cukup tak tergantung pada seberapa besar kepemilikan kita. Tapi pada seberapa besar hati kita.

Saya berdoa agar diberi karunia rasa cukup yang tak fatalis. Sebaliknya rasa cukup yang memberi energi untuk berbuat lebih.

Semangat pagi :)

Minggu, 27 Januari 2013

Cara Menyingkat URL dengan Domain Gratis dot tk



Semangat pagiii...

Lama sekali nggak posting nih.. huwaaa..

Kali ini, saya mau posting tentang menyingkat sebuah URL menggunakan domain gratis dot tk.
Dulu sih, sebelum join dBCN, sudah sering sih sebenernya dengar kata domain sebagai salah satu kosakata di bidang teknologi informasi. Tapi saya nggak ngerti artinya, juga nggak terdorong untuk mencari ngerti apa artinya. Mungkin karena belum butuh :D. Setelah join dBCN, jadi deh tergerak untuk tahu. Soalnya, tanpa pakai forwarding domain, URL dBCN sering gagal dipost di Facebook. Mungkin sebelum akhirnya diterapkan kode etik dengan tegas, banyak dBCN-ers yang suka melakukan spamming. Jadi deh kena block.

Sebelum kenal dot tk saya pakai domain premium (com/biz) yang harganya rata-rata under Rp 100 rb untuk masa pakai setahun. Tapi di dBCN banyak landing page (LP). Kalau tiap LP pakai domain premium, jadi mahal juga.. hehehe

Eh tapi, sempat juga pakai domain gratis dot co cc. Cuma, kayaknya waktu itu tiap kali pakai dot co cc nggak selalu berhasil. Tapi ketika pakai dot tk, jarang tuh gagal. Makanya, sekarang sering pakai dot tk baik untuk web replika saya (www.tambahpenghasilan.tk) maupun web replika downline-downline saya.

Langsung aja deh ya, begini caranya menyingkat sebuah URL menggunakan domain dot tk. Sebagai contoh pakai salah satu landing page dBCN, yakni www.dbc-network.com/?id=niceworkingathome.

Buka www.dot.tk , ada dua opsi : Register Domain dan Shorten URL. Klik Shorten URL, lalu ketik/copas URL yang akan dipendekkan. Klik GO.




Akan muncul halaman ini. Isikan nama domain yang akan dipakai di kotak "register a new domain". Kalau domain sudah terpakai, akan muncul keterangan dan Anda harus segera menggantinya. Pilih masa berlaku domain (bulan) di kolom "registration lenght". Lalu tiru kode sandi di kolom selanjutnya.



Di kolom selanjutnya, Anda akan diminta mendaftar menggunakan salah satu akun milik Anda. Saya biasanya memilih Facebook. Saya juga suka klik "share your new domain" agar nanti domain baru langsung terposting di wall FB.


Begitu diklik FB, akan muncul halaman untuk log in Facebook. Masuk seperti biasa.
 

Selanjutnya akan muncul halaman ini. Klik share!

Domain baru langsung terpampang di wall FB seperti ini : 
 

Sudah deh..
Kalau bermanfaat, silakan dicoba :) 

---------------------------------------------------------------
Lisdha , Pematangsiantar, Sumut
Konsultan Independent Oriflame
HP 087892030743 / 081370435535
PIN BB 27612eb7 
www.tambahpenghasilan.tk